MENJAGA hati merupakan pekerjaan berat. Butuh kesungguhan dalam
menghadapi godaan yang datang secara bertubi-tubi yang terkadang membuat
kita terkapar menyerah dengan keadaan yang ada. Padahal, hati laksana
mahkota dalam jiwa.
Hati, sebagaimana diungkap oleh Syaikh
Abdullah bin Alwi Al-Haddad, adalah raja seluruh angota tubuh. Hati
merupakan sumber akidah, akhlaq, niat yang tercela maupun terpuji.
“Seseorang tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat
kecuali sanggup menyucikan hatinya dari keburukan dan kehinaan serta
menghiasinya dengan kebaikan dan keutamaan,” tulisnya.
Di sinilah, sekali lagi, pentingnya menata
hati. Dalam diri kita, seperti menirukan sabda Nabi Muhammad SAW, “Ada
segumpal daging. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika
dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itu adalah hati.” (HR.
Bukhari-Muslim).
Supaya tidak terjerumus dalam kubangan maksiat
yang membuahkan penyesalan tiada terperihkan, ada baiknya kita melakukan
langkah-langkah berikut ini.
Pertama, jangan memulai berbuat
maksiat. Proses terjadinya maksiat diceritakan secara detail oleh Ibnu
Qayyim. Katanya, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi
fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi
syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah
(hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi
perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia
akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu sulit bagimu meninggalkannya.”
Sekecil
apapun peluang maksiat, tutup segera. Membuka hati untuk maksiat sama
saja mempersilakan diri kita dijarah oleh setan dan dosa. Sebuah maksiat
akan melahirkan maksiat berikutnya. Demikian seterusnya, lambat laun ia
menjadi sebuah tren dalam denyut kehidupan seseorang. Sehingga
membutuhkan energi yang luar biasa untuk menghentikan luapan maksiat
tersebut.
Kedua, menjernihkan hati. Hati yang jernih membuat kita
lebih sensitif terhadap maksiat. Menjernihkan hati diawali dengan
zuhud. Hidup zuhud bukan berarti lari dari dunia, menjauhi manusia. Tapi
menjalani pola hidup dengan kebersahajaan, kesejajaran, tidak
berlebihan, proposional, dan sesuai kebutuhan bukan yang selaras
keinginan.
Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Bagaimana
engkau mendapatkan zuhud?” Ibrahim menjawab, “Dengan tiga perkara: (1)
Saya melihat keadaan kubur yang mengerikan sedang belum kudapati pelipur
(2) Saya melihat sebuah jalan yang panjang sementara belum kumiliki
bekal (3) Dan saya melihat Allah yang Maha Perkasa mengadili, padahal
saya belum memiliki hujjah (argumentasi).”
Kejernihan hati
menjadi sumber ketenteraman hidup. Tidak gusar dan gelisah atas apa yang
tidak ada serta selalu bersyukur dengan apa yang ada. Sebaliknya,
kegersangan hati sebagai akibat ketidakmampuan mengendalikan diri,
membuat gerakan dan nafas tersenggal-senggal, terseok-seok tak tentu
arah.
Ketiga, bertaubat. Tidak ada manusia suci selain para Nabi
dan Rasul. Jika suatu saat kita melakukan maksiat baik disengaja ataupun
tidak, solusinya adalah dengan bertaubat, memohon ampun kepada Allah.
Inilah cara ketiga.
Taubat dari segala tindak tanduk maksiat,
mulai anggota tubuh hingga ke dalam hati. Dzun Nun Al-Misri menjelaskan
cara taubat secara menyeluruh. Ia berkata, “Setiap anggota tubuh manusia
ada ‘jatah’ taubatnya: (1) Taubatnya hati dengan berniat meninggalkan
hal-hal yang dilarang (2) Taubatnya mata dengan menundukkan pandangan
dari hal-hal yang haram (3) Taubatnya kedua tangan dengan meninggalkan
penggunaan sesuatu yang bukan haknya (4) Taubatnya kedua kaki dengan
meninggalkan usaha berjalan ke tempat-tempat yang membuat lalai kepada
Allah (5) Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan (6)
Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji.”
Tiga cara tersebut merupakan upaya mengorganisasikan kembali hatiku, hatimu, dan hati kita yang centang-perenang. Semoga…..MH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar