Minggu, 06 Oktober 2013

Kinerja DPRD Kota Palu Dalam Implementasi Fungsi Pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

Kinerja DPRD Kota Palu Dalam Implementasi Fungsi Pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap negara di dunia ini memiliki tujuan untuk mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Negara Republik Indonesia juga memiliki tujuan yang sama, sehingga untuk mewujudkan keinginan tersebut diperlukan manajemen pemerintahan yang baik. Pengawasan merupakan satu komponen penting dalam manajemen. Kata pengawasan berasal dari kata “awas” atau penjagaan. George R.Terry  mendefenisikan pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, dan jika perlu memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.
Salah satu pihak yang berperan dalam pengawasan di tingkat daerah adalah DPRD, dalam hal ini DPRD Kota Palu. Menurut UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 41, DPRD memiliki fungsi yaitu : legislasi, anggaran dan pengawasan. Pada DPRD pengawasan yang dilakukan bersifat politik, dalam arti pengawasannya berbeda dengan pengawasan fungsional karena pengawasan politik lebih ditekankan pada laporan pertanggungjawaban keuangan oleh kepala daerah. Sedangkan pengawasan fungsional lebih bersifat audit yang terperinci dan bersifat administratif.
Bergesernya tata cara pengelolaan keuangan daerah mendorong untuk lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan serta kebutuhan rakyat. Hal tersebut menurut pengelolaan keuangan yang transparan, partisipatif dan akuntabel, yang mana setiap input tertentu harus menghasilkan output tertentu. Input tersebut diharapkan mampu menentukan outcome, benefit dan impactnya. Hasil yang didapatkan sehubungan dengan anggaran yang digunakan sebanding dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
Penyusunan APBD dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip alokasi dana. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya penguatan kapasitas aparatur yang terlibat langsung dalam penyusunan APBD dan mengawasi penggunaannya.
Menurut UU Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, secara khusus telah menetapkan landasan yang jelas dalam penataan pengelolaan dan pertanggungjawaban, keuangan daerah. APBD merupakan instrumen yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah. Untuk menjamin agar APBD dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar, dalam pengelolaan anggaran daerah yang mengatur antara lain prosedur dan teknis penganggaran yang harus diikuti secara tertib dan taat asas.
Dalam proses penyusunan anggaran yang berbasis kinerja yang harus dipahami adalah makna, baik secara statis maupun dinamis. Dinamis sendiri berarti bahwa setiap input tertentu harus diperhitungkan berupa output yang mampu dicapai oleh input tersebut. Pencapaian dari suatu kinerja dinilai berdasarkan indikator tertentu yang menjadi pertimbangan utama, maka dari itu analisis standar belanja perlu dibuat dengan mengacu pada standar satuan harga untuk mencapai prestasi kerja berdasarkan standar pelayanan minimal.
Maka secara teknis penyusunan anggaran berbasis kinerja harus mengikuti mekanisme yang memadukan anrtara perencanaan dan penganggaran dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah, pendekatan penganggaran terpadu, dan pendekatan prestasi kerja. Selain hal di atas, dalam penyusunan anggaran yang berbasis kinerja secara normatif juga harus mengikuti asas, fungsi utama dari anggaran, dan paradigmanya.
Proses penyusunan APBD pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi makro dan sumber daya yang tersedia secara tepat sesuai dengan kebijakan pemerintah dan mempersiapkan kondisi bagi pengelolaan anggaran secara baik.
DPRD yang salah satu fungsinya adalah pengawasan memiliki andil dalam mengawal dan mengawasi agar tujuan dari penyusunan APBD dapat terlaksana dengan baik, tetapi DPRD belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Hal ini tercermin pada semakin tinggi tingkat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam era otonomi daerah maupun banyaknya peraturan peundang-undangan yang tidak terlaksana secara konsekuen dan konsisten oleh pemerintah daerah.
Demikian juga halnya dengan DPRD Kota Palu, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku. DPRD Kota Palu dalam melaksanakan fungsinya dalam hal pengawasan harus mampu memeriksa dan mencegah terjadinya kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja dalam pengusunan APBD. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tahun 2004  ditemukan banyak pelanggaran, beberapa diantaranya yaitu ; beberapa proyek-proyek Pemerintah Kota Palu sebesar Rp.63.878.578.000,00 dilaksanakan sebelum tersedianya anggaran dalam APBD dan pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung, palaksanaan pekerjaan dan prosedur penyedia barang dan jasa dilaksanakan tidak sesuai dengan Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 jo.Nomor 61 Tahun 2004. Kemudian, pekerjaan rehabilitasi atau pemeliharaan Jalan Cut Mutiah tidak direncanakan dengan baik sehingga menimbulkan pemborosan sebesar Rp148.362.205,77 sementara pada lokasi yang sama pada tahun 2005 dilaksanakan pekerjaan pembuatan jalan beton.
DPRD Kota Palu harus bersikap netral dan tidak memihak pada pihak manapun yang akan berdampak pada kerugian daerah, bukan berkonspirasi untuk menghapus kesalahan atau kejanggalan dalam penyusunan APBD. Karena dinas terkait melaksanakan pekerjaan sesuai dengan pembagian anggaran dan persetujuan dari DPRD (fungsi anggaran). Terkait dengan hal tersebut maka penulis mengangkat judul “ Kinerja DPRD Kota Palu Dalam Implementasi Fungsi Pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah Pengaruh Kinerja DPRD Kota Palu Dalam Implementasi Fungsi Pengawasan APBD ?

1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakan penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh Kinerja DPRD Kota Palu Dalam Implementasi Fungsi Pengawasan APBD.







1.3.2.    Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1.3.2.1. Secara Teoritis
1.    Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pemerintahann terutama menyangkut konsep Fungsi Pengawasan DPRD.
2. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain, terutama menyangkut Fungsi Pengawasan DPRD.

1.3.2.2. Secara Praktis
1.    Hasil Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dan pemikiran kepada anggota DPRD Kota Palu dalam melaksanakan fungsi pengawasan terutama dalam pengawasan APBD.








BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

2.1. Landasan Teori
2.1.1.    Kinerja
Menurut A.A Anwar Prabu Mangkunegara  berpendapat bahwa “istilah kinerja berasal dari kata Job Performance (prestasi kerja) atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang, dengan kata lain kinerja adalah hasil kerja, secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Sedangkan Sadu Wasistiono berpendapat bahwa kinerja merupakan suatu prestasi kerja  yang digunakan sebagai suatu ukuran tingkat pencapaian suatu tujuan dari suatu organisasi.
Didalam Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/X/6/Y/99 Tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kinerja adalah : “Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan/ program/kebijakan  dalam mewujudukan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi.
Menurut Alain Mitrani  menyatakan bahwa “ Kinerja diartikan sebagai akhir, berupa barang maupun jasa yang berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, saran dan keterampilan spesifik yang dapat mendukung pencapaian tujuan dan organisasi”. Suyadi Prawirosentono mengemukakan “ bahwa untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah kinerja organisasi yang bekerja dalam unit-unit organisasi, karena yang berperan dalam unit-unit organisasi adalah unsur-unsur manusia sebagai pelakunya”.
Menurut Arief Molyadi  pengertian kinerja dapat diartikan sebagai “ Perilaku berkarya,berpenampilan atau berhasil karya. Kinerja merupakan bentuk bangunan organisasi yang bermutu dimensional, sehingga cara mengukurnya berfariasi tergantung pada banyak faktor. Menurut Moenir , ada tiga aspek yang harus dipahami oleh setiap pegawai atau organisasi maupun unit kerja yaitu :
1.    Kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
2.    Kejelasan dari hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan tersebut atau dari suatu fungsi.
3.    Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud.
Lebih lanjut Soesilo Zahur  menyatakan peningkatan kinerja individu dapat dilihat dari keterampilan kecakapan praktisya,kompetensinya, pengetahuan dan informasinya,keleluasaan pengalamannya, sikap dan perilakunya, kebijakannya, keratifitasnya, moralitasnya dan lain-lain. Kinerja kelompok dilihat dari kerjasamanya, keutuhannya, disiplinnya, loyalitasnya dan lain-lain.
Salah satu faktor yang mendukung berhasil atau tidaknya suatu organisasi pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan adalah dari faktor kinerja pegawai atau karyawannya. Kinerja yang baik akan memberikan kontribusi yang optimal terhadap organisasi atau lembaga yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja (prestasi kerja) adalah sebagai berikut :
a)    Faktor Kemampuan
Kemampuan dimaksudkan sebagai kesanggupan (capacity) pegawai untuk melaksanakan pekerjaannya. Kemampuan ini mengandung berbagai unsur seperti keterampilan manual dan intelektual, bahkan sampai kepada sifat-sifat pribadi yang dimiliki. Unsur-unsur ini juga mencerminkan pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang dianut sesuai dengan perincian kerja yang memungkinkan kary8awan untuk berja dengan cara tertentu.

b)    Faktor Motifasi
Motifasi terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motifasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai sasaran orientasi kerja secara maksimal. Motif prestasi adalah suatu dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan sesuatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji.
Agus Dwiyanto  memaparkan ada beberapa indikator yang dipakai sebagai indikator atau standarisasi dari penilaian terhadap kinerja seseorang, unit, atau suatu organisasi yaitu : Produktivitas, Kualitas Pelayanan, Responsivitas, Responsibilitas dan Akuntabilitas.
a.    Produktivitas adalah kemampuan suatu organisasi untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa. Penilaian produktivitas suatu organisasi dilakukan dengan menggunakan atau mengkaji kuantitas dan kualitas dokumen-dokumen yang tersedia di organisasi tersebut, yaitu catatan dan laporan organisasi sebagai informasi penting dalam menunjukkan produktivitas kerja organisasi yang bersangkutan.
b.    Kualitas Pelayanan adalah sumber data atau informasi utama dari kualitas pelayanan yang didapatkan dari pengguna jasa atau masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam melaksanakan penilaian terhadap kualitas pelayanan adalah survei terhadap individu atau masayarakat yang menggunakan jasa atau organisasi dan mengadakan cek silang terhadap laporan dan dokumen mengenai pelayanan yang diberikan organisasi.
c.    Responsivitas adalah kemampuan organisasi dalam mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas pelayananserta pengembangan program pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimaksudkan sebagai satu ukuran kinerja karena secara langsung menggambarkan kemampuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jika responsivitas rendah maka menunjukkan kegagalan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi yang diemban. Dari pengertian tersebut maka indikator dari responsivitas mengarah pada ketepatan dalam pelayanan dan ketepatan waktu dalam pelayanan.
d.    Responsibilitas adalah tanggung jawab dalam pelaksanaan menyangkut kesesuaian dengan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan suatu organisasi hal ini dapat dinilai dari analisa terhadap dokumen dan laporan kegiatan organisasinya dengan prosedur administrasi dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam organisasi.
e.    Akuntabilitas adalah kemampuan suatu organisasi mengimplementasi kebijaksanaan dan kegiatannya secara konsisten dengan kehendak masyarakat, yaitu itu tidak hanya ada pencapaian target organisasi, tetapi juga sasaran yaitu masyarakat. Akuntabilitas suatu organisasi dapat juga dilakukan dengan survei terhadap penilaian dari para wakil rakyat atau para pejabat politis dan tokoh masyrakat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bawa kinerja dapat diartikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program, kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, maupun visi dan misi organisasi.

2.1.2.     Perwakilan Politik Masyarakat
Baron de Montesquieu  mengembangkan konsep pemisahan kekuasaan. Menurut Montesque kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga yaitu ; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan elemen legislatif ditingkat negara dan DPRD adalah elemen legislatif di tingkat daerah.
Legislatif diuraikan oleh Prof. Miriam Budiardjo sebagai berikut:
Badan legislatif adalah lembaga yang”LEGISLATE” atau membuat Undang-Undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat; maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); nama lain yang sering dipakai adalah parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau umum ini dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum /public policy yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum .
Dalam sistem politik demokrasi, secara teori jika membahas mengenai lembaga legislatif merujuk pada kelembagaan perwakilan politik. Hal tersebut disebabkan karena konsep perwakilan politik yang ideal memang hanya ada pada negara yang menganut sistem demokrasi. Secara umum beberapa teori perwakilan  yang dimaksud yaitu :
1.    Teori Sosiologi
Ajaran ini menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis, akan tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Para pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dianggap benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan yang akan bersungguh-sungguh membela kepentingan para pemilih. Sehingga lembaga perwakilan yang terbentuk itu terdiri dari golongan-golongan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Artinya bahwa lembaga perwakilan itu tercermin dari lapisan masyarakat yang ada.


2.    Teori Organ
Ajaran ini lahir di Prancis sebagai rasa ketidakpuasan terhadap ajaran teori mandat. Para sarjana mencari dan membuat ajaran/teori baru dalam hal hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya. Teori Organ diungkapkan oleh Von Gierke (Jerman), bahwa negara merupakan satu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapannya seperti : eksekutif, parlemen dan rakyat, yang semuanya itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri namun antara satu dengan lainnya saling berkepentingan. Dengan demikian maka setelah rakyat memilih lembaga perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga ini bebas menjalankan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar .
3.    Teori Mandat
Seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion. Teori mandat ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok pendapat :• Mandat Imperatif, menurut teori ini bahwa seorang wakil yang bertindak di lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang tidak terdapat dalam perintah tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang diwakilinya. Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas. Mandat Bebas, teori ini berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada perintah/intruksi dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil adalah merupakan orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori Mandat Representatif.
Mandat Representatif, teori ini mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk minta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga perwakilan kepada rakyat pemilihnya .




4.    Teori Hukum Obyektif
Leon Duguit  mengatakan bahwa hubungan antara rakyat dan parlemen dasarnya adalah solidaritas. Wakil-wakil rakyat dapat melaksanakan dan menjalankan tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas kenegaraannya tanpa memberikan dukungan kepada wakil-wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintah. Dengan demikian ada pembagian kerja antara rakyat dan parlemen (Badan Perwakilan Rakyat). Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas adalah merupakan dasar dari hukum dan bukan hak-hak yang diberikan kepada mandataris yang membentuk lembaga perwakilan tersebut.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga legislatif daerah yang lahir dari pemikiran tentang Demokrasi Perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul untuk mewujudkan kedaulatan yang berada di tangan rakyat pada suatu negara. Sehingga ada sejumlah oang yang dipilih untuk mewakili masyarakat yang dianggap mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat yang akan duduk dalam pemerintahan (Legislatif).



2.1.3    Penyelenggaraan Pengawasan
2.1.3.1.    Konsep dasar Pengawasan
Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan DPRD secara khusus tercantum dalam UU 32 tahun 2004 pasal 42 ayat 1C  yang berbunyai :
“DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penngawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturang perundnag-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional daerah”.
Pengawasan tersebut bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif  demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Konsep dasar dari pengawasan DPRD meliputi pemahaman tentang arti penting dari pengawasan itu sendiri, syarat pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses pengawasan. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
“Pengawasan adalah tindakan pengendalian aktivasi agar benar-benar sesuai dengan rencana, untuk mencegah penyimpangan yang mungkin terjadi demi tercapainya hasil maupun hal-hal lain sesuai dengan yang diinginkan dalam rencana yang telah ditentukan sebelumnya”
Sondang P.Siagian dalam I.GK.Manila mengemukakan bahwa :
“Pengawasan ialah proses pengamatan terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya”.
Stoner dan Freeman  berpendapat bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai denga rencana kegiatan. Sedangkan Koontz  berpendapat bahwa pengawasan adalah untuk melakukan pengukuran dan tindakan atas kinerja yang berguna untuk meyakinkan organisasi secara objektif dan merencanakan suatu cara dalam pencapaian organisasi. Secara sederhana disebutkan bahwa pengawasan adalah kegiatan yang dilaksanakan agar visi, misi atau tujuan organisasi tercapai dengan lancar tanpa ada penyimpangan atau segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebanarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.
Dalam tata kepemerintahan yang baik, pengawasan berperan memberikan umpan balik kepada pemerintah daerah untuk perbaikan pengelolaan keuangan. Sementara bagi pelaksana, pengawasan merupakan aktivitas untuk memberikan kontribusi dalam proses pembangunan agar dapat mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien. Pengawasan harus memberikan informasi sedini mungkin, sebagai bagian dari sitem peringatan dini bagi bagi pemerintah daerah.
Menurut Griffin  proses pengawasan sendiri memiliki empat tahapan dasar,yaitu:
1.    Establish standards adalah dengan menetapkan kembali target atau program yang berikutnya untuk perbandingan yang membawa kinerja terukur, standar pengwasan inipun selalu konsisten terhadap tujuan organisasi.
2.    Measurement performance adalah ukuran kinerja yang tetap, kegiatan yang terus menerus pada sebagian besar organisasi, untuk suatu pengawasan yang efektif kuran kinerja harus benar atau sah, harian, mingguan, atau bulanan, penampilan ukuran palayanan dari unit cost, kualitas produk dan jumlahnya, penampilan pekerja sering diukur antara mutu dan jumlah hasil.
3.    Compare performance agains standards adalah membandingkan kembali kinerja dengan standar, mungkin kinerja lebih tinggi, atau lebih rendah atau sama dengan standar.
4.    Consider corrective action adalah keputusan untuk mengambil tindakan yang berat dimana seorang manajer memerlukan analisis dan keahlian diagnostik, meneliti tingkat penyimpangan atau merubah standar atau ukuran atau norma.
Menurut Duncan  sifat pengawasan yang efektif yaitu :
1.    Pengawasan harus dipahami sifat dan kegunaannya, maka harus dikomunikasikan pada semua pihak yang terlibat.
2.    Pengawasan harus mengikuti pola dan siatuasi yang dianut atau yang dimiliki oleh organisasi.
3.    Pengawasan harus mengidentifikasi masalah yang dihadapi organisai.
4.    Pengawasan harus fleksibel dan tidak kaku.
5.    Pengawasan harus memperhatikan aspek ekonomis.
Agar pengawasan dapat berjalan secara efektif, memerlukan syarat-syarat atau pengendalian yang baik. Yaitu :
1.    Harus sesuai dengan perencanaan dan kedudukan.
2.    Harus bersifat objektif
3.    Harus mudah disesuaikan.
4.    Harus sesuai dengan suasana organisasi.
5.    Mudah dan ekonomis.
6.    Dapat menghasilkan tindakan korektif.

2.1.3.2.    Pengawasan DPRD Terhadap APBD
Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD adalah pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan di daerah. Sistem akuntabilitas didaerah akan menajdi semakin efektif, karena proses dan hasil pengawasan yang dilakukan DPRD akan memungkinkan lembaga-lembaga publik digugat juka mereka tidak memenuhi kaidah-kaidah publik.
Pengawasan DPRD adalah wewenang yang dimiliki DPRD kabupaten atau kota untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan keputusan dari gubernur atau bupati atau walikota, pelaksanaan APBD, kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), dan pelaksanaan kerjasama Internasional Daerah.
Berdasarkan pasal 42 ayat (1) huruf c UU No. 32 tahun 2004, secara umum ruang lingkup pengawsan DPRD  meliputi tiga hal yaitu :
1.    Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengawsan ini meliputi pengawasan terhadap pencapaian tujuan awal saat ditetapkannya peraturan daerah.
2.    Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Pengawasan ini merupakan pengawasan terhadap pencapaian tujuan awal saat ditetpkannya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
3.    Pengawasan terhadap perjanjian kerjasama pihak ketiga. Pengawasan ini meliputi pengawasan terhadap kerjasama daerah oleh pemerintah daerah dengan pihak ketiga baik lokal maupun internasional meteri meliputi : bidang yang dikerjasamakan, jangka waktu kerjasama, manfaat bagi daerah, dan sumber pembiayaan.
Secara khusus, hasil pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah ditujukan :
1.    Untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2.    Untuk menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan dalam upaya mencegah berlanjutnya kesalahan atau penyimpangan.
3.    Untuk menumbuhkan motivasi, memperbaiki, mengurangi dan atau meniadakan penyimpangan.
4.    Untuk meyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan .
Dari fungsi pengawasan tersebut diharapkan DPRD dapat membangun sistem peringatan dini apabila terjadi kejanggalan atau penyimpangan dalam proses pengelolaan tata pemerintahan daerah. Untuk dapat melakukan pengawasan secara efektif diperlukan beberapa persyaratan , yaitu :
1.    Langkah pengawasan tertentu hanya berlaku untuk suatu organisasi tertentu.
2.    Kegiatan pengawasan harus dapat mencapai tujuan sekaligus, bukan hanya tujuan sektoral tetapi tujuan luas lainnya.
3.    Informasi untuk pengawasan harus diperoleh tepat waktu.
4.    Mekanisme pengawasan harus dipahami semua orang yang ada dalam organisasi.
Salah satu fungsi DPRD yang cukup penting dan berdampak luas adalah fungsi anggaran DPRD dalam menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Hal ini berhubungan dengan kewajiban kepala daerah melakukan pertanggungjawaban tahunan atas pelaksanaan APBD. Berdasarkan pasal 179 UU No.32 tahun 2004 disebutkanbahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Agar pengelolaan keuangan daerah yang tertuang dalam APBD benar-benar sesuai dengan kebutuhan daerah, DPRD dapat melakukan pengawasan kebijakan dari perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasi. Agar APBD tersusun dan terlaksana dengan tepat sasaran dan tepat waktu, DPRD dapat mengarahkan penyusunan APBD berpedoman pada peraturan perudang-undangan yang berlaku , sesuai dengan materi berikut :
1.    APBD disusun dengan pendekatan kinerja.
2.    dalam penyusunan APBD,pengaanggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup.
3.    Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional dapat dicapai untuk setiap pendapatan.
4.    Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.
5.    Perkiraan sisa lebih perhitungan APBD tahun sebelumnya dicatat sebagai saldo awal APBD pada tahun berikutnya, sedangkan realisasi sisa lebih perhitungan APBD tahun lalu dicatat sebagai saldo awal pada perubahan APBD.
Dengan adanya rincian penyusunan APBD dan berpedoman pada tata cara penyusunan dan penggunaannya, akan memudahkan DPRD dalam penyusunan peraturan daerah menyangkut APBD, perhitungan APBD dan perubahan setiap tahun, sehingga pengawsan yang dilakukan DPRD terhadap APBD dapat dilakukan secara optimal. Fungsi pengawasan DPRD terhadap APBD diarahkan agar tidak terjadi penyimpangan seperti kasus korupsi oleh DPRD yang juga melibatkan kepala daerah yang erat kaitannya dengan penyelewengan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah APBD dan perubahnnya. Dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentan APBD berpedoman pada pasal 185 dan pasal 186 UU No.32 tahun 2004.
Apabila DPRD tidak mencapai titik temu dengan kepala daerah dalam mengambil keputusan tentang APBD, maka kepala daerah menggunakan anggaran (APBD) tahun sebelumnya. Untuk menghindari hal tersebut DPRD dapat melakukan koordinasi yang baik dengan eksekutif agar seluruh tujuan dapat tercapai dalam merumuskan kegiatan ke dalam APBD yang partisipatif. DPRD lebih memfokuskan pada pengwasan terhadap APBD, artinya perda tentang APBD benar-benar menjadi pedoman bagai semua SKPD, sebgaimana yang diatur pada pasal 190 UU No.32 tahun 2004, yang berbunyi : “Peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD dijadikan dasar penetapan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah”.
Kemudian, pasal 311 ayat 91) dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan  Keuangan Daerah  berbunyi :
1.    DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanana peraturan daeah tentang APBD.
2.    Pengawasan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturna daerah tentang APBD.
Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD, wujudnya adalah melihat, mendengar, mencermati pelaksanaan APBD oleh SKPD, baik secara langsung maupun berdasarkan informasi yang diberikan oleh konsituen, tanpa mengatur ke ranah pengawasan yang bersifat teknis . Apabila ada dugaan penyimpangan dapat dilakukan hal-hal berikut :
1.    Memberitahukan kepada KDH untuk ditindaklanjuti.
2.    membentuk Pansus untuk mencari informasi yan lebih akurat.
3.    Menyampaikan adanya dugaan penyimpangan kepada instansi penyidik (Kepolisian, Kejaksaan, KPK).
Landasan hukum yang digunakan pada pengawasan DPRD antara lain Peraturan Pemerintah No.8 tahun 2006 tentang pelaporan AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah).
2.1.4.    Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
2.1.4.1.    Anggaran Daerah
Kata anggaran memiliki beberapa pengertian, antara lain ; sebagai rencana keuangan yang menerjemahkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi aspirasi masyarakat menuju pencipataan kehidupan rakyat yang lebih baik di masa yang akan datang,  anggaran juga berarti Rencana keuangan PEMDA untuk membangun perkehidupan masyarakat yang tentunya semakin berkembang dan dinamis yang tercermin dalam kegiatan untuk mendorong rakyat dalam memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Mardiasmo  berpendapat bahwa anggaran merupakan proses penentuan jumlah alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap program dam aktivitas dalam bentuk satuan uang. Kemudian, sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja disebut anggaran kinerja. Dalam Darwanto (2007), anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik.
Dalam penyusunan anggaran, menurut World Bank (1998) ada beberapa prinsip pokok dalam anggaran dan manajemen keuangan daerah yaitu :
1.    Komperhensif dan disiplin
2.    Fleksibilitas
3.    Terprediksi
4.    Kejujuran
5.    Informasi
6.    Transparansi dan akuntabilitas
APBD menurupakan instrumen yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah. Lebih lanjut Mardiasmo  mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah yaitu :
1.    Transparansi, dimana masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran. Karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat terutama pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.
2.    Akuntabilitas, merupakan prinsip pertanggung jawaban publik yang berarti proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus dapat dilaporkan dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
3.    Value of money, yang merupakan tiga aspek berupa ekonomi, efisiensi, dan efektifitas.
 Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa prinsip-prinsip anggaran  adalah :
a.    Semua penerimaan yang meliputi uang, barang, dan atau jasa dianggarkan dalam APBD.
b.    Seluruh pendapatan, belanja, dan pembiayaan dianggarkan secara bruto.
c.    Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d.    Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus diperkuat dengan dasar hukum yang melandasinya.
Peraturan tentang APBD dikeluarkan untuk menjamin agar APBD dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar, dalam peraturan-peraturan tersebut diatur landasan administratif dalam pengelolaan anggaran daerah yang mengatur prosedur dan teknis pengawasan yang harus diikuti secara terteb dan taat asas. Dalam menetapkan APBD, DPRD berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anggaran  sebagai berikut :
1.    UU No.34  Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang No.18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi daerah.
2.    UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3.    UU No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,DPD, dan DPRD.
4.    UU No.1 Thaun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
5.    UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6.    UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusah dan Pemerintah Daerah.
7.    UU No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
8.    UU No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
9.    PP No.23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
10.    PP No.54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
11.    PP No.55 Tahun 2005  tentang Dana Perimbangan.
12.    PP No.56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
13.    PP No.57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepala Daerah.
14.    PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
15.    Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
16.    Permendagri No.59 Tahun 2007 tentang Perubahan Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.       




2.1.4.2.    Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Ekuitas dana lancar adalah selisih antara aset lancar dengan kewajiban jangka pendek. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 20, Pendapatan adalah semua penerimaan rekening kas umum negara/daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pendapatan daerah yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Seluruh pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD dianggarkan secara bruto, yang mempunyai makna bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut dan/atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil. Menurut Kadjatmiko dalam Halim (2004: 194), dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang didasarkan pada azas desentralisasi, daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi (tax assignment) serta bantuan keuangan (grant transfer). Pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2.1.4.3.    Peraturan Daerah Tentang APBD
Keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaran pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menurut UU No.33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah, pasal 1 ayat (13) pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Selanjutnya pada ayat (14)  disebutkan bahwa belanja daerah adalah semua kawajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Pada ayat (17) APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiyaan daerah. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Ekuitas dana lancar adalah selisih antara aset lancar dengan kewajiban jangka pendek. Belanja daerah meupakan semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam sati tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi, kabupaten atau kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentunan perundang-undangan. Sedangkan pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Selanjutnya, agar pelaksanaan APBD berjalan sesuai dengan aturan maka pemerintah Kota Palu telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No.6 tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.







2.2    Kerangka Pikir
Hal yang menjadi masalah adalah DPRD yang pada dasarnya merupakan cerminan atau representatif dari masyarakat yang ada di daerah pada kenyataannya belum dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan semaksimal mungkin.
Fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPRD belum dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga kinerja DPRD tidak menunjukkan peningkatan atau perbaikan. Jika terus dibiarkan akan menjadi masalah bagi pemerintahan daerah, mungkin ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. DPRD harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Hal tersebut dikarenakan adanya kesejajaran peran yang dimiliki oleh DPRD dan pemerintah daerah sehingga saling mendukung satu sama lain agar tercipta hubungan yang harmonis dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan amanat UUD 1945 alinea keempat. Hubungan yang saling medukung tersebut tentunya akan menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak, tetapi bukan berarti DPRD kemudian berkonspirasi dengan pemerintah daerah dalam pengawasan APBD untuk bersama-sama melakukan tindakan korupsi. Karena begitu besarnya pengaruh DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka DPRD harus meningkatkan kompetinsinya dan memeberikan zero tolerance (tidak ada toleransi) pada kejanggalan dalam APBD yang dapat menjadi celah bagi tindakan korupsi. Konsep kedepan yang diharapkan DPRD Kota Palu dapat memiliki kinerja yang maksimal dalam melaksanakan fungsi pengawasan dalam APBD.
Adapun bagan kerangka pikir dapat dilihat di bawah ini :






























Gambar 2.1
Bagan Kerangka Pikir





2.3.    Hipotesis
Berdasarkan masalah yang dikemukakan diatas, penulis merumuskan hipotesis sebagai dasar bagi penulisan proposal ini. Hipotesis adalah anggapan atau pendapat untuk menjelaskan suatu fakta yang dipakai sebagai dasar dalam suatu penelitian. Jadi hipotesis merupakan suatu kesimpulan atau jawaban sementara yang masih perlu adanya pembuktian atas kebenaran melalui penelitian dilapangan . Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a.    Ho, diduga tidak ada hubungan dan pengaruh antara kinerja DPRD dalam implementasi fungsi pengawasan APBD
b.    Ha, diduga terdapat hubungan dan pengaruh antara kinerja DPRD dalam implementasi fungsi pengawasan APBD.
















BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.    Dasar dan Tipe Penelitian
3.1.1.    Dasar Penelitian
Dasar penelitian ini bersifat survei, karena penelitian digunakan untuk mengumpulkan data dari koresponden dengan menggunkaan kuisioner. Pengertian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi.
3.1.2.    Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe regresi, dimana penelitian ini akan dibangun suatu teori yang dapat berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara dua variabel atau lebih.

3.2.    Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1.    Variabel
Yang dimaksud dengan variabel adalah suatu objek yang mempunyai variasi tertentu ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik sesuai dengan judul skripsi yang terdiri dari 2 variabel yaitu :
1.    Variabel Independen (x) Kinerja Pengawasan DPRD
2.    Variabel Dependen (y) Pengawasan APBD
3.2.2    Definisi Operasional
A. Kinerja adalah perilaku berkarya,berpenampilan atau berhasil karya. Kinerja merupakan bentuk bangunan organisasi yang bermutu dimensional, sehingga cara mengukurnya berfariasi tergantung pada banyak faktor. Dengan indikator pengukur yaitu :
1.    Produktivitas adalah kemampuan suatu organisasi untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa.
2.    Kualitas Pelayanan adalah sumber data atau informasi utama dari kualitas pelayanan yang didapatkan dari pengguna jasa atau masyarakat.
3.    Responsivitas adalah kemampuan organisasi dalam dalam mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas pelayanan serta pengembangan program pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
4.    Responsibilitas adalah tanggung jawab dalam pelaksanaan menyangkut kesesuaian dengan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan suatu organisasi.
5.    Akuntabilitas adalah kemampuan suatu organisasi mengimplementasi kebijaksanaan dan kegiatannya secara konsisten dengan kehendak masyarakat.

B.    Pengawasan APBD adalah suatu tindakan dalam proses pelaksanaan APBD untuk menghindari terjadinya penyelewengan dana dalam pelaksanaan pembangunan yang diukur dengan indikator :
1.    Proses pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin suatu kegiatan dilaksanakan sesuai dengan rencana kegiatan. Yang diukur dengan establish standards (menetapkan target atau program), measurement performance (ukuran kinerja yang tetap), compare performance agains standards (memba ndingkan kinerja dengan standar yang harus dicapai), dan consider corrective action (keputusan untuk menganbil tindakan yang bersifat koreksi)
2.    Efektivitas pengawasan diukur dengan kesesuaian dengan perencanaandan kedudukan, objektif, mudah disesuaikan, sesuai dnegan suasana organisasi, mudah dan ekonomis, serta dapat menghasilkan tindakan korektif.
3.    Ruang lingkup pengawasan adalah seberapa jauh proses pengawasan dilaksanakan yang diukur dari segi sifat pengawasan (pengawasan melekat atau pengawasan preventif), tujuan pengawasan (mengaudit atau mencegah terjadinya kekeliruan)
4.    Kuantitas pengawasan merupakan output yang dihasilkan yang diukur dengan seberapa banyak pihak yang dibentuk berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan.

3.3.    Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian ini adalah pada Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu.

3.4.    Populasi dan Sampel
3.4.1.    Populasi Penelitian
Populasi menurut Sugiono adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya . Yang menjadi populasi penelitian ini adalah Pemerintah Daerah yang terdiri dari anggota Dewan perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Palu dan jajaran pemerintah Daerah yang terdiri dari seluruh pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Adapun populasi yang diteliti yaitu:
- Anggota DPRD Kota Palu                    30 orang
- Pimpinan SKPD Kota Palu                31 Instansi





3.4.2.    Sampel Penelitian
Sampel merupakan sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Karena populasi yang telah ditentukan jumlahnya relatif kecil, maka teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Sensus atau sampel jenuh. Teknik ini menjadikan semua populasi sebagai sampel, dengan asumsi bahwa dalam pelaksanaan pengawasan semua pihak berperan. Maka, jumlah sampel dari penelitan ini adalah 61 orang yang terdiri dari 30 orang anggota DPRD Kota Palu dan 31 orang pimpinan SKPD Kota Palu.

3.5.    Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
3.5.1.    Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.     Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari responden dari anggota dewan Kota Palu dan pimpinan SKPD Kota palu, pengumpulan data dilakukan dengan metode kuesioner.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh langsung dengan mendatangi objek penelitian untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan objek penelitian ( didapat melalui tangan kedua )


3.5.2.    Teknik Pengumpulan Data
Untuk  memperoleh data yang di butuhkan dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis menggunakan cara pengumpulan data sebagai berikut:
a.    Kuesioner (angket)
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala Likert juga disebut summated rating scale yang berarti nilai peringkat setiap jawaban atau tanggapan itu dijumlahkan sehingga mencapai nilai total. Skala ini banyak digunakan karena memberi peluang kepada responden untuk mengekspresikan perasaan mereka dalam bentuk persetujuan atau tidak setuju terhadap suatu pertanyaan.Jawaban konsumen terhadap beberapa alternatif pilihan dalam instrumen penelitian didalam skala Likert tergradasi dari jawaban yang sangat positif sampai jawaban yang sangat negatif.
Indikator-indikator dari setiap variabel disajikan dalam bentuk kuesioner yang dirancang dalam sejumlah daftar pertanyaan/pernyataan guna memperoleh tanggapan dari responden.
 Adapun skor dari setiap pertanyaan yang ditentukan berrdasarkan skala ordinal adalah sebagai berikut :
1.    Untuk jawaban alternatif “a” diberi skor     4
2.    Untuk jawaban alternatif “b” diberi skor    3
3.    Untuk jawaban alternatif “c” diberi skor    2
4.    Untuk jawaban alternatif “d” diberi skor    1

b.    Penelitian kepustakaan (Library Research)
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari buku-buku, dokumen-dokumen serta sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

3.6.    Analisis Data
Metode kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dengan menggunakan angka-angka sebagai dasar analisis, yang dirumuskan dnegan model matematis tertentu. Berdasarkan permasalah dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya maka metode kuantitatif yang digunakan adalah Regresi Linear Sederhana. Sebelum alat analisis statistik regresi linear sederhana diterapkan dalam penelitian, terlebih dahulu harus diketahui tingkat keakuratan dari data-data yang terkumpul pada kuesioner penelitian melalui uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian.

3.6.1.    Intervalisasi Data
Dalam pengambilan data, peneliti menggunakan skala Likert pada kuesioner (angket) kemudian dianalisis dengan menggunakan formula statistik pada program SPSS For windows Release 16.0. Agar data dapat diolah dengan menggunakan formula statitik maka data harus berdistribusi normal dan berdistribusi interval. Karena instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala Likert juga disebut summated rating scale yang berarti nilai peringkat setiap jawaban atau tanggapan itu dijumlahkan sehingga mencapai nilai total.

3.6.2.    Validitas Instrumen Penelitian
Salah satu instrumen yang sering dipakai dalam penelitian ilmiah adalah angket yang bertujuan untuk mengetahui pendapat seseorang mengenai suatu hal. Ada dua syarat penting yang berlaku pada sebuah angket, yaitu keharusan angket untuk valid dan reliabel. Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsinya. Suatu angket dikatakan valid (sah) jika pertanyaan pada suatu angket mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh angket tersebut. Kriterianya, istrumen valid apabila nilai korelasi (pearson correlation) adalah positif, dan nilai probabilitas korelasi   [sig. (2-tailed)] ≤ taraf signifikan (α) sebesar 0,05. Nilai probabilitas korelasi akan diperoleh setelah data diolah dengan formula statistik pada program SPSS For windows Release 16.0





3.6.3.    Reliabilitas Instrumen Penelitian
Reliabilitas adalah mengukur instrument terhadap ketepatan. Reliabilitas disebut juga keterandalan, keajegan, konsistensi, stability atau dependability. Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai reliabilitas jika dapat diandalkan dan tidak berubah-ubah meskipun digunakan berkali-kali pada populasi peneliian. Menurut Malhotra  suatu instrument atau seluruh indikator dianggap sudah cukup reliable apabila memilki alpha cronbach lebih besar atau sama dengan 0,60 (α ≥ 0.60). Nilai alpha cronbach akan diperoleh setelah data diolah dengan formula statistik pada program SPSS For windows Release 16.0.

3.6.4.    Uji Asumsi Klasik
Masalah-masalah dalam pengujian model regresi dalam penelitian ini dapat diatasi dengan menggunakan bentuk model pengujian klasik. Bentuk model pengujian klasik terhadap kenormalan hasil persamaan regresi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.    Uji Normalitas
Nomalitas bertujuan menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel dependen (terikat), variabel independent (bebas) atau keduanya mempunyai distribusinormal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Deteksi normalitas dilakukan dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusannya adalah:
1)    Jika data tersebut tersebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
2)    Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
b.    Multikolineritas
Istilah multikolinieritas untuk menunjukkan adanya hubungan linear di antara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Adanya kolinieritas yang tinggi di antara beberapa variabel atau seluruh variabel bebas menyebabkan kita tidak mungkin untuk dapat mengisolasi pengaruh individual dari variabel bebas terhadap variabel terikat.
Multikolinieritas dalam hasil penelitian yang diolah dengan alat analisis statistik regresi linear sederhana terjadi bila ditemukan adanya hubungan linear yang kuat diantara dua atau lebih variabel independen (bebas) yang diamati, baik secara positif maupu negatif sehingga mengakibatkan kemampuan masing-masing individu variabel independen (bebas) tersebut tidak akurat dalam memprediksi variabel dependen (terikat) karena satu sama lainnya saling mencerminkan karakteristik. Untuk mengetahui kebebasan hasil penelitian dari gejala multikolinieritas digunakan matriks korelasi ”Karl Pearson” dengan nilai patokan korelasi umumnya sebesar 0.90 atau lebih..
3.6.5.    Regresi Linear Sederhana
Teknik statistik regresi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh nilai variabel dependen bila variabel independen dirubah . Teknik ini melakukan analisis uji korelasi dan analisis regresi (regresi sederhana). Analisis regresi sederhana digunakan karena variabel independen (bebas/x) hanya satu. Setelah itu hipotesis penelitian ini diuji dengan menggunakan uji hipotesis nol. Uji hipotesis ini pada perumusannya cenderung menyamakan atau tidak memberlihatkan adanya perbedaan.  Adapun rumus regresi sederhana  yang digunakan adalah :
Ỹ = a + bX

Dimana ;
Ỹ = subyek dalam variabel dependen yang dipresikasikan (pengawasan APBD
a = konstanta
b = angka atau arah koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan atau penurunan variabel dependen yang didasarkan pada hubungan nilai variabel independen.
X = subyek independen yang mempunyai nilai tertentu (kinerja pengawasan DPRD)

3.6.6.    Pengujian Hipotesis
Dalam penelitian ini pengujian hipotesis digunakan dengan menggunakan metode Analysis of Variance (ANOVA) . Metode ini digunakan untuk menguji hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Analisis yang akan digunakan pada penelitian ini adalah analisis One Way ANOVA yang menguji hubungan antara satu variabel dependen dengan satu variabel independen.ANOVA digunakan untuk mengetahui pengaruh utama/langsung dari variabel dari variabel independen terhadap variabel dependen.
ANOVA digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata sampel dengan menggunakan F test yaitu estimate between groups variance dibandingkan dengan estimate within groups variance.Untuk mengetahui apakah variabel independen (X) berpengaruh terhadap variabel dependen (Y), maka dilakukan perbandingan antara Fhitung dengan Ftabel pada tingkat kesalahan (α) = 0,05 dengan kaidah pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut :
a.    Jika Fhitung ≥ Ftabel maka signifikan (h0) ditolak, (ha) diterima
b.    Jika Fhitung ≤ Ftabel maka tidak signifikan (h0) diterima,(ha) ditolak



BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1.    Sejarah Terbentuknya DPRD Kota Palu
Secara historis Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu, terbentuk sejak Kota Palu resmi dijadikan sebagai daerah otonom (Kota Madya) yang sebelumnya menjadi kota administrasi. Untuk memperjelas sejarah terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu berikut penulis mencoba memaparkan sejarah singkat Kota Palu yang terbentuknya berkaitan dengan sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu.
Kota Palu pada awalnya merupakan kota kecil yang merupakan pusat kerajaaan Kota Palu, yang kemudian berkembang maju menjadi kota administratif yang (Ibu Kota Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah), dan selanjutnya lagi menjadi Kota Madya.
Pertumbuhan Kota Palu setelah bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan Belanda dan Jepang pada Tahun 1945 semakin hari semakin meningkat, dimana hasrat masyarakat untuk lebih maju dari masa penjajahan sangat besar disertai tekad untuk membangun daerahnya masing-masing dan ingin mekepaskan diri dari tangan penjajahan Belanda dan Jepang. Dengan adanya kemauan dan tekad masyarakat Kota Palu. Berkat usaha dan makin gigihnya serta tersusunnya roda pemerintahan dari pusat sampai daerah-daerah. Maka terbentuklah Daerah Swantra Tingkat II Donggala sesuai dengan pemerintah No.33 Tahun 1952.
Secara berangsur-angsur susunan ketatanegaraan Republik Indonesia diperbaiki oleh pemerintah pusat. Seiring dengan keinginan rakyat di daerah-daerah melalui pemecahan dan penggabungan untuk pengembangan selanjutnya, maka pemerintahan swapraja dihapus dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang No. 249 Tahun 1959, serta Undang-Undang Tahun No. 13 Tahun 1964 tentang terbentuknya daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan ditetapkannya Kota Palu sebagai Ibi Kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Pertumbuhan Kota Palu tidak lepas dari campur tangan dari berbagai pihak termasuk Gubernur dan Walikota dan sesuai dengankeputusan DPRD Tingkat I yang diputuskan di Poso Tahun 1964 tentang kemungkinan Kota Palu sebagai Kota Administratif. Atas dasar keputusan tersebut maka pemerintah Daerah Tingkat II Donggala mengambil langkah-langkah positif guna mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan akan dibentuknya Kota Palu.
Sebagai Kota Administratif, Keputusan ini diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Nomor 22/Ditpem/1974 dengan membentuk panitia peneliti kemungkinan Kota Palu akan dijadikan Kota Administratif.
Bertolak dari hasrat dan keinginan rakyat sebagaimana tertuamg dalam Keputusan DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1987, maka pada tanggal 27 September 1987 Menteri Dalam Negeri meresmikan Kota Palu dan sekaligus melantik Drs.Kisman Abdullah sebagai Walikota Administratif yang pertama. Sejalan dengan dasar pembentukan tersebut di atas, Kota Palu pula ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, sekaligus Ibu Kota Dati II Donggala dan juga sebagai Ibu Kota Administratif Palu.
Pembangunan Kota Administratif Palu secara makro berpijak pada kebijakan pembangunan berdasarkan prioritas tahapan repelita yang dimulai sejak Pelita I sampai dengan Pelita V. selain bertitik tolak dari prioritas tersebut ada beberapa faktor pendorong dan faktor penarik pula. Diantara sejarah Administratif Kota Palu Ibu Kota Dati II Donggala dan juga Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Pesatnya pertumbuhan ekonomi memungkinkan perbaikan kualitas kehidupan dan tersedianya sumber daya sehingga dapat menarik investor asing selanjutnya dapat membuka lapangan kerja baru.
Pertumbuhan penduduk Kota Administratif Palu melaju begitu cepat. Melihat indikator pertumbuhan Kota tersebut, dituntut adanya pengelolaan dan pengendalian urusan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan yang lebih cepat serta terarah agar pelayanan kepada masyarakat lebih baik. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka status Kota Administratif ditingkatkan menjadi Daerah Otonom (Kota Madya) berdasarkan UU No. 4 Tahun 1994 Tentang Kota Madya Palu.
Sejak peresmian Kota Madya Palu, maka Pemerintah Daerah membenahi segala aspek yang menunjang kegiatan pemerintahan, serta melengkapi unsur pemerintahan dengan terbentuknya DPRD Kota Palu, maka pada tanggal 11 Juli Tahun 1995 Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah, H. Abd. Aziz Lamajido, SH melantik dan meresmikan anggota DPRD Kota Palu, periode Tahun 1995-1997.
Berikut ini penulis menguraikan nama yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Palu selama empat periode :
1.    Kol. Inf. Sampe Familay dari tahun1995 sampai dengan Tahun 1997
2.    Kol. Inf. Ahmad Madjid dari Tahun 1997 sampai dengan Tahun 1999
3.    Rusdi Mastura dari Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2004 dan dari Tahun 2004 sampai dengan 2005
4.    Mulhanan Tombolotutu, SH dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2008
5.    H. M Sidik Ponulele dari Tahun 2009 sampai dengan 2014




4.2.    Struktur Organisasi dan Tata Kerjanya
Mengacu pada arti penting sebuah organisasi di dalam menyelesaikan tugas-tugas bersama, maka yang seharusnya dilakukan adalah penataan organisasi guna  mempermudah pencapaian tujuan-tujuannya. Dalam arti lain pengorganisasian (penataan kerja) tersebut akan secara jelas mencangkup berbagai batasan-batasan, kewenangan dan tugas pimpinan selaku penanggung jawab serta job-job personal yang terstruktur secara hirarki.
Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Palu Nomor 13 Tahun 2009 Tanggal 22 Oktober 2009 Tentang Pembentukan Komposisi Personalia Alat Kelengkapan DPRD Kota Palu adalah sebagai berikut :
1.    Pimpinan;
2.    Komisi;
3.    Badan Musyawarah;
4.    Badan Anggaran;
5.    Badan Kehormatan;
6.    Badan Legislasi Daerah; dan
7.    Badan Urusan Rumah Tangga

Setiap alat kelengkapan mempunyai tugas masing-masing. Selain itu terdapat fraksi-fraksi yang merupakan pengelompokan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik yang terwakili di DPRD. meskipun bukan merupakan alat kelengkapan, Dewan Fraksi mempunyai kedudukan yang cukup strategis. Fraksi adalah kepanjangan tangan dari Partai Politik di DPRD. tidak kalah pentingnya adalah tenaga pendukung yang bertugas memeberikan dukungan pelayanan Administratif maupun dukungan keahlian yang terorganisir di dalam sekretariat DPRD.
Untuk menetapkan tugas dari masing-masing komponen, perlu diperhatikan fungsi kewenangan yang diemban oleh lembaga tersebut. DPRD disebut sebagai lembaga Legislatif karena mempunyai kewenangan membuat perundang-undangan. Di sisi lain badan ini juga sering disebut sebagai Dewan Perwakilan karena berisi wakil-wakil rakyat yang mempunyai kewenangan menyampaikan dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh rakyat yang diwakilinya.
Kedua kewenangan tersebut sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Artinya sebagai pembuat peraturan maka aspirasi masyarakat tidak dapat ditinggalkan. Aspirasi tersebut tercermin di dalam satu produk hukum yang merupakan legslasi kebijakan berdasarkan kebijakan tersebut.
Tidak menjadi permasalahan diposisi mana seseorang tersebut berada sebuah struktur lembaga, karena di tempat maupun fungsi sebagai badan legislatif dan lembaga perwakilan tetap dapat dilaksanakan. Dalam rangka proses legislasi, terdapat beberapa alat kelengkapan yang mempunyai peran yang cukup besar, yaitu : Pimpinan. Komisi, Panitia Musyawarah, dan Panitia Khusus. Sementara diluar alat kelengkapan tersebut, peran fraksi dan sekretariat Dewan juga tidak dapat diabaikan.
Adapun komposisi alat Kelengkapan DPRD Kota Palu :
1.    Pimpinan
Pimpinan DPRD terdiri dari seorang ketua dan dua orang wakil ketua. Tugas pimpinan DPRD adalah sebagai berikut :
a.    Memimpin sidang-sidang DPRD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan
b.    Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua
c.    Menjadi juru bicara DPRD
d.    Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD
e.    Mengadakan konsultasi dengan Kepala Daerah dan instansi pemerintah lainnya sesuai dengan keputusan DPRD
f.    Mewakili DPRD atau alat kelengkapan DPRD di pengadilan melaksanakan putusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi dan rehabilitasi anggota sesuia dengan peraturan perundang-undangan.
g.    Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang paripurna DPRD.
2.    Komisi-komisi
Peran utama komisi dalam proses legislasi adalah pada saat pengajuan dan pembahsan raperda bersam-sama eksekutif. Dalam pengajuan Raperda, komisi dapat melakukan perancangan dengan bantuan dari pihak luar. Secara teknis dan procedural dapat di kemukakan secara singkat bahwa setelah embahasan sebuah raperda diserahkan pada komisi, maka komisi yang akan membahas Raperda tersebut bersama Kepala Daerah/jajaran eksekutif lainnya yang ditunjuk unuk mewakili pemerintah daerah. Hasil di dalam komisi tersebut kemudian dilaporkan kepada rapat paripurna untuk diambil keputusan, apakah disetujui atau ditolak.










DPRD Kota Palu terdiri dari 3 komisi yaitu :
a.    Komisi A, bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat
Adapun dibawah ini tabel nama-nama anggota dari komisi I:
Tabel 4.1
Nama-nama Anggota  Komisi I
No    Nama Anggota    Jabatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9    Danawira Asri
Erfandy
Hajrun H.Arumba,S.Pd
Muh.J.Wartabone,S.Sos,SH.MHI
Ernawatie A.SE,MM
Muh.Ali Lamu, LC
Moh.Iksan Kalbi
Andi Patongai, S.Sos
Hj.Zulfikar Lamakarate    Ketua/Anggota
Wkl Ketua/Anggota
Sekertaris
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber : Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu  2009

Pembidangan Komisi I bidang pemerintahan dan kesejahteraan rakyat, meliputi : Pemerintahan, Ketertiban, Penerangan /Pers, Hukum/ Perundang-Undangan, Kepegawaian/ Aparatur, Perizinan, Sosial Politik, Organisasi Kemasyarakatan, Pertanahan, Ketenagakerjaan, Pendidikan Ilmu dan Teknologi, Kepemudaan dan Olahraga, Agama dan Kesenian, Sosial, Kesehatan dan Keluarga Berencana, Peranan Wanita dan Transmigrasi



b.    Komisi B, bidang Ekonomi dan Keuangan
Adapun dibawah ini tabel nama-nama anggota dari komisi II
Tabel  4.2
   Nama-nama Anggota  Komisi II
No    Nama Anggota    Jabatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9    Drs. Arfandi Labanu
Paath Jan Agus, SE
Muhlis U.Aca
H. Adjis Samsa
Amran
Ir. Tamsil
H. Hadiyanto Rosyid, SE
H. Muchlis Yabi
Abdul Fatah    Ketua
Wakil Ketua
Sekertaris
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber : Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu  2009

Pembidangan Komisi II bidang perekonomian, keuangan dan industry meliputi : Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Perikanan, Peternakan, Perkebunan, Kehutanan, Pengadaan Pangan, Logistik, Koperasi dan Pariwisata, Keuangan Daerah, Perpajakan, Retribusi, Perbankan, Perusahaan Daerah, Perusahaan Patungan, Dunia Usaha, Penanaman Modal dan Kebudayaan.





c.    Komisi C, bidang pembangunan
Adapun dibawah ini tabel nama-nama anggota dari komisi III
Tabel 4.3
    Nama-nama Anggota  Komisi III
No    Nama Anggota    Jabatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9    Erman Lakuana, S.Sos
Idiljan Djanggola
Drs. H. Ishak Cae
Ronald
Ani Suryani, S.Pd
Abdurahman M.Rifai
Dahniar S. Tagintina
Hamsiar, BE
Sophian R. Aswin    Ketua
Wakil Ketua
Sekertaris
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber : Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu  2009

Pembidangan Komisi III bidang pembangunan, meliputi : pekerjaan umum, tata kota, pertamanan, kebersihan, perhubungan, pertambangan dan energi, perumahan rakyat dan lingkungan hidup.
3.    Badan Musyawarah
Badan Musyawarah yang paling penting adalah dalam kaitannya dengan pembahasan Raperda yaitu menjadwalkan pembahasan Raperda dan mendistribusikan penanganan atau pembahasan Raperda tersebut kepada Pansus atau Komisi-komisi secara merata, dan akan menjadi permasalahan apabila satu komisi mendapat beban pembahasan Raperda yang cukup banyak, sementara komisi lain tidak menangani pembahasan Raperda sama sekali, jika hal ini terjadi maka berdampak pada pemerataan pembangunan atau kebijakan daerah akan tidak merata.
Dalam badan musyawarah di DPRD Kota Palu terdapat 14 anggota yang terdiri dari ketua, wakil ketua sebanyak 2 orang, sekretaris, dan anggota lain dan mempunyai tugas sebagai berikut:
a.    Menetapkan agenda DPRD untuk 1 (satu) Tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan daerah dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya.
b.    Memberikan pendapat kepada pimpinan DPRD dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD
c.    Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPRD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing.
d.    Menetapkan jadwal acara rapat DPRD.
e.    Memberi saran/pendapat untuk mempelancar kegiatan.
f.    Merekomendasikan pembentukan panitia khusus
g.    Melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada badan musyawarah
    Dibawah ini merupakan nama-nama dari anggota Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu
Tabel 4.4
      Nama-nama Anggota Badan Musyawarah
No    Nama Angota    Jabatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13    H.M. Sidik Ponulele
Yos Soedarso Mardjuni, SE
Wiwik Jumatul Rofi’ah, S.Ag
Muh. J. Wartabone, S.Sos, SH, MHI
Muh. Ali Lamu, LC
Paath Jan Agus, SE
Amran
H. Hadiyanto Rosyid, SE
Abdul Fatah
Erman Lakuana, S.Sos
Idiljan Djanggola
Ani Suryani, S.Pd
Abdurahman M. Rifai    Ketua
Wakil Ketua
Wakil Ketua
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber : Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu  2009


4.    Badan Anggaran
Dalam badan anggaran di DPRD Kota Palu terdapat 14 anggota yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris,dan anggota lainnya dan mempunyai tugas sebagai berikut:
a.    Memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkan APBD
b.    Melakukan konsultasi yang dapat diwakili oleh anggotanya kepada komisi terkait untuk memperoleh masukan dalam rangka pembahasan rancangan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara
c.    Memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBD
d.    Melakukan penyempurnaan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBD berdasarkan hasil evaluasi gubenur bersama tim anggaran pemerintah daerah
e.    Melakukan pembahasan bersama tim anggaran pemerintah daerah terhadap rancangan kebijakan umum APBD serta rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara yang disampaikan oleh kepala daerah
f.    Memberikan saran kepada pimpinan DPRD dalam penyusunan anggaran belanja DPRD
    Dibawah ini merupakan nama-nama dari anggota badan Anggaran  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu.



Tabel 4.5
      Nama-nama Anggota Badan Anggaran
No    Nama anggota    Jabatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14    Muh. J Wartabone S.Sos, SH. MHI
Ernawatie. A. SE. MM
Drs. Moh. Hidayat, M.Si
Ir. Tamsil
Andi Patongai, S.Sos
Erman Lakuana, S.Sos
Erfandi
H. Hadianto Rosyid, SE
Muhammad Ali Lamu, Lc
Ani Suryani, S.Pd
H. Muchlis Yabi
Hamsyir, SE
Drs. H. Ishak Cae
Ronald    Ketua/Anggota
Wkl Ketua/Anggota
Sekretaris/Bukan
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber : Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu  2009








5.    Badan Kehormatan
Badan Kehormatan bertugas menilai kinerja anggota dewan di atas.  Dibawah ini merupakan nama-nama dari anggota badan Anggaran  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu
Tabel 4.6
      Nama-nama Anggota Badan Kehormatan
No    Nama Anggota    Jabatan
1
2
3    Abd.Rahman M.Rifai
H. Adjis Samsa
Moh. Ikhsan Kalbi    Ketua/Anggota
Wakil Ketua/Anggota
Anggota
Sumber: Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu  2009

Di DPRD juga terdapat fraksi dan sekretaris dewan yang juga sangat berperan penting dalam membantu menyukseskan program kerja dewan.
a.    Fraksi
Fraksi bukan merupakan alat kelengkapan DPRD, namun tidak dapat dipungkiri bahwa fraksi memegang peranan penting dalam perumusan suatu kebijakan. Peran fraksi di dalam proses legislasi adalah :
1)    Penyampaian pandangan umum terhadap suatu Raperda. Pada tahap ini dapat menyampaikan aspirasi konstituennya dengan cara mempertanyakan hal-hal yang diatur dalam Raperda secara umum kepada Pemerintah Daerah
2)    Pembahasan Raperda melalui Dim, pada tahap ini fraksi dapat mengusulkan diadakannya perubahan terhadap pasal-pasal dalam Raperda baik yang menyangkut masalah teknis maupun substansional.
3)     Penyampaian pandangan akhir yang diakhiri dengan pengambilan keputusan yang biasanya didasarkan pada pendapat akhir setiap setiap fraksi. Tahap ini merupakan paling penting karena fraksi-fraksi dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap Raperda untuk ditetapkan menjadi Perda.
b.    Sekretariat Dewan
Meskipun bukan merupakan bagian dari alat kelengkapan dewan, namun peran sekretariat dewan tidak dapat disepelejkan. Keanggotaan dewan merupakan jabatan politis. Sedangkan pegawai sekretariat dewan mrmpunyai jabatan lima tahunan juga. Artinya anggota-anggota DPRD boleh dating silih berganti, namun pegawai sekretariat dewan tetap bekerja disana sampai pensiun.
6.    Badan Legislasi Daerah
Dalam badan legislasi di DPRD Kota Palu memiliki 10 anggota yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris,dan anggota lainnya dan mempunyai tugas sebagai berikut:
a.    Menyusun rancangan program legislasi daerah yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk setiap Tahun anggaran di lingkungan DPRD
b.    Koordinasi untuk penyusunan program legislasi daerah antara DPRD dan pemerintah daerah
c.    Menyiapkan rancangan peraturan daerah usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan
d.    Melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD
e.    Memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi, di luar prioritas rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah
f.    Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus.
g.    Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas rancangan peraturan daerah yang ditugaskan oleh badan musyawarah
h.    Membuat laporan kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.
1)    Badan Legislasi Daerah dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana yang dimaksud dapat:
a)    Mengadakan Koordinasi dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui Pimpinan DPRD
b)    Mengadakan Rapat Kerja, Rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum;
c)    Dapat meminta tenaga ahli/pakar
    Dibawah ini merupakan nama-nama dari anggota badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu.
Tabel 4.7
      Nama-nama Anggota Badan Legislasi Daerah
No    Nama Anggota    Jabatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10    Ani Suryani, S.Pd
Hj. Zulfikar Lamakarate, S.Sos
Drs. Moh. Hidayat, M.Si
Moh. Ikhsan kalbi
Sophian R. Aswin
Muhlis U.Aca
Drs. Arfandi Labanu
Ernawatie. A.SE, MM
Andi Patongai, S.Sos
Ir. Tamsil    Ketua/Anggota
Wakil/Anggota
Sekertaris/Bukan Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber : Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu  2009
7.    Badan Urusan Rumah Tangga
Badan Urusan Rumah Tangga bertugas mengatur segala urusan kesekretariatan dan segala kebutuhan anggota dewan. Dibawah ini merupakan nama-nama dari anggota Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palu.
Tabel 4.8
        Nama-nama Anggota Badan Urusan Rumah Tangga
No    Nama Anggota    Jabatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11    Amran Ismaun
Ronald
Ernawatie.A, SE.MM
Hj. Zulfikar Lamakarate, S.Sos
Erman Lakuana, S.Sos
Hamsyir
Dahniar S.Tagintina
Sophian R. Aswin
Muhammad Ali Lamu, Lc
Muhlis u.Aca
Abd. Fatah    Ketua/Anggota
Wakil Ketua/Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber : Data sekunder sekretariat DPRD Kota Palu






BAB V
PEMBAHASAN

5.1.    Hasil Uji Instrumen Penelitian
5.1.1.    Intervalisasi Data
Skala interval adalah ukuran yang digunakan untuk mengurutkan orang atau obyek berdasarkan suatu atribut. Skala ini juga memberikan informasi tentang interval antara responden satu dengan responden lainnya. Intervalisasi data menunjukkan bahwa jarak antara data satu dengan data lain sama tetapi tidak mempunyai nilai absolut nol (0). Berdasarkan hasil intervalisasi data yang dilakukan dengan program statistik SPSS For windows Release 16.0 diperoleh hasil bahwa sebagai berikut :
Pada variabel X(kinerja) nilai interval terendah adalah 1 dan nilai interval tertinggi adalah 4,40. Hal ini menunjukkan jarak interval jawaban antara responden satu dengan respnden lainnya berada pada kisaran interval 1 sampai 4,40. Nilai total interval tertinggi pada variabel X adalah 5 dan nilai total interval terendah adalah 18,69.
Pada varibel Y(pengawasan) nilai interval terendah adalah 1 dan nilai interval tertinggi adalah 3,73. Hal ini menunjukkan jarak interval jawaban antara responden satu dengan responden lainnya berada pada kisaran interval 1 sampai 3,73. Nilai total interval terendah pada variabel Y adalah 4 dan nilai total interval tertinggi adalah 15,59.
5.1.2.    Uji Validitas
Salah satu instrumen yang sering dipakai dalam penelitian ilmiah adalah angket yang bertujuan untuk mengetahui pendapat seseorang mengenai suatu hal. Ada dua syarat penting yang berlaku pada sebuah angket, yaitu keharusan angket untuk valid dan reliabel. Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsinya. Suatu angket dikatakan valid (sah) jika pertanyaan pada suatu angket mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh angket tersebut . Kriterianya, instrumen valid apabila nilai korelasi (pearson correlation) adalah positif, dan nilai probabilitas korelasi [sig. (2-tailed)] ≤ taraf signifikan (α) sebesar 0,05. Sebelum semua kuesioner penelitian dibagikan, maka peneliti membagi sebanyak 61 kuesioner untuk kemudian dilakukan uji instrumen penelitian. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS For windows Release 16.0. Dari masing-masing item pertanyaan yang dituangkan dalam kuesioner, sebagaimana terlihat pada Tabel 5.1. berikut ini :




Tabel 5.1.a
Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian Variabel X(Kinerja)
Correlations
          X.1    X.2    X.3    X.4    X.5
X.1    Pearson Correlation    1    .287*    .311*    .079    .242
    Sig. (2-tailed)         .025    .015    .547    .061
    N    61    61    61    61    61
X.2    Pearson Correlation    .287*    1    .167    .133    .132
    Sig. (2-tailed)    .025         .198    .308    .309
    N    61    61    61    61    61
X.3    Pearson Correlation    .311*    .167    1    .129    .607**
    Sig. (2-tailed)    .015    .198         .322    .000
    N    61    61    61    61    61
X.4    Pearson Correlation    .079    .133    .129    1    .337**
    Sig. (2-tailed)    .547    .308    .322         .008
    N    61    61    61    61    61
X.5    Pearson Correlation    .242    .132    .607**    .337**    1
    Sig. (2-tailed)    .061    .309    .000    .008   
    N    61    61    61    61    61
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).        
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).        
Sumber: Data Primer,diolah kembali


Tabel 5.1.b
    Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian Variabel Y(Pengawasan)   
Correlations
          Y.1    Y.2    Y.3    Y.4
Y.1    Pearson Correlation    1    .425**    .320*    .384**
    Sig. (2-tailed)         .001    .012    .002
    N    61    61    61    61
Y.2    Pearson Correlation    .425**    1    .330**    .324*
    Sig. (2-tailed)    .001         .010    .011
    N    61    61    61    61
Y.3    Pearson Correlation    .320*    .330**    1    .406**
    Sig. (2-tailed)    .012    .010         .001
    N    61    61    61    61
Y.4    Pearson Correlation    .384**    .324*    .406**    1
    Sig. (2-tailed)    .002    .011    .001   
    N    61    61    61    61
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).   
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).   
Sumber: Data Primer,diolah kembali
 0.05. hal tersebut menunjukkan adanya korelasi yang positif antara variabel X yaitu kinerja terhadap varibel Y yaitu pengawasan, sehingga dapat dinyatakan bahwa nilai validitas dari variabel X dan Y adalah 100% valid dan layak untuk digunakan sebagai instrumen penelitian.
aBerdasarkan hasil uji validitas sebagaimana terurai pada Tabel 5.1.a dan 5.1.b, ditemukan bahwa seluruh item pertanyaan yang dituangkan dalam kuesioner penelitian dinyatakan valid. Hal ini disebabkan karena nilai Corrected Item Total Correlation (Korelasi Total) semua indikator penelitian lebih besar dan tidak bernilai negatif terhadap nilai r-kritis Product Moment sebesar 0.30 di tingkat kepercayaan 95% atau
5.1.3.    Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah mengukur instrument terhadap ketepatan. Reliabilitas disebut juga keterandalan, keajegan, konsistensi, stability atau dependability . Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai reliabilitas jika dapat diandalkan dan tidak berubah-ubah meskipun digunakan berkali-kali pada populasi penelitian. Menurut Malhotra  suatu instrument atau seluruh indikator dianggap sudah cukup reliable apabila memilki alpha cronbach lebih besar atau sama dengan 0,60 (α ≥ 0.60).
Hasil uji reliabilitas terhadap instrumen penelitian (kuesioner) dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer program statistik SPSS For Windows Release 16.0 dan menunjukkan hasil uji bahwa variabel-variabel penelitian memiliki nilai reliabilitas yang tinggi dalam fungsi ukurnya dengan nilai Alpha Cronbach diatas 0,60. Pada pengujian validitas yang telah dilakukan sebelumnya, ditemukan bahwa seluruh indikator-indikator variabel penelitian dinyatakan valid, maka pada pengujian reliabilitas seluruh indikator tersebut juga dapat dimasukkan. Sebagaimana yang terlihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.2.a
Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel X(Kinerja)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha    Cronbach's Alpha Based on Standardized Items    N of Items
.750    .779    6
Sumber: Data Primer,diolah kembali

Tabel 5.2.a
Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Y(Pengawasan)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha    Cronbach's Alpha Based on Standardized Items    N of Items
.787    .838    5
Sumber:Data Primer yang diolah kembali
Berdasarkan informasi dalam Tabel 5.3.a dan tabel 5.3.b diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel penelitian dalam instrumen penelitian (kuesioner) menunjukkan nilai konsistensi yang tinggi sehingga dinilai reliabel dalam fungsi ukurnya. Pada pengujian reliabilitas variabel X (tabel 5.3.a) menunjukkan bahwa nilai cronbach’s alpha sebesar 0,750. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen penelitian (kuesioner) pada variabel X (kinerja) memiliki nilai konsistensi yang tinggi untuk digunakan sebagai alat pengukur.  Kemudian pada pengujian variabel Y (tabel 5.3.b) menunjukkan nilai cronbach’s alpha sebesar 0,787. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen penelitian (kuesioner) pada variabel Y(pengawasan) memiliki nilai konsistensi yang tinggi untuk digunakan sebagai alat pengukur. Karena nilai variabel X dan Y diatas 0,60 dan nilai tersebut merupakan standard nilai reliabilitas, maka variabel X dan Y memiliki konsistensi yang tinggi atau reliabel dalam fungsi ukurnya.

5.2.    Hasil Analisis Regresi Linear sederhana
5.2.1.    Uji Asumsi Klasik
a.    Hasil Uji Normalitas
Hasil pengujian data dengan menggunakan bantuan computer program statistik SPSS For Windows Release 16 menunjukkan bahwa data-data hasil penelitian yang diperolah melalui kuesioner, cenderung tersebar mendekati atau disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal sehingga asumsi normalitas dapat dikatakan terpenuhi. Karena syarat utama asumsi normalitas telah terpenuhi, maka regresi antara varibel X yaitu kinerja terhadap variabel Y yaitu pengawasan memiliki distribusi normal atau mendekati nomal. Secara lebih terperinci normalitas data dalam regresi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 5.1 berikut ini :

Gambar 5.1.
Grafik Normal Plot (Hasil Uji Normalitas)


b.    Hasil Uji Multikolinearitas
Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah diantara variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini terdapat korelasi erat ataukah tidak. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi gejala multikolinearitas karena dapat menyebabkan kesalahan standar estimasi akan cenderung meningkat. Adanya kolinieritas yang tinggi di antara beberapa variabel atau seluruh variabel bebas menyebabkan kita tidak mungkin untuk dapat mengisolasi pengaruh individual dari variabel bebas terhadap variabel terikat.Uji Multikolinearitas digunakan matriks korelasi “Karl Pearson” dengan bantuan software computer SPSS release 16 for windows. Untuk lebih jelasnya hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada gambar 5.2. berikut ini :
Gambar 5.2.
Hasil Uji Multikolinearitas











Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa sebaran data (jawaban responden) memiliki sebaran yang cukup luas. Sebaran data tersebut menunjukkan sebaran data secara keseluruhan yaitu jawaban responden terhadap variabel X dan jawaban responden terhadap variabel Y. Berdasarkan gambar sebaran data yang tersebar dengan baik, maka gejala mulkolinearitas yang terjadi sangat kecil walaupun ada beberapa data yang tidak tersebar tetapi masih dalam batas toleransi.  Batas toleransi  yang dimaksud tidak lebih dari 1% atau dibawah 95%.
5.2.2.    Pengujian Hipotesis
Persamaan regresi yang diperoleh dalam suatu proses perhitungan tidak selalu baik untuk mengestimasi nilai variabel dependen. Untuk mengetahui pengaruh kinerja DPRD dalam implementasi fungsi pengawasan APBD Kota Palu digunakan analisis kuantitatif dengan metode regresi linear sederhana. Tabel 5.3. menunjukkan hasil perhitungan regresi sederhana :
Tabel 5.4
Hasil Perhitungan Regresi Sederhana
Variabel Dependen (Y)    Variabel Independen (X)    Koefisien Regresi    thitung    t.tabel α = 0,05    Keterangan
Pengawasan    Kinerja    0,578    6,290    1.957    th >tt → signifikan
R squere                   = 0,401                           Fhitung    = 39,563
Adjust R squere       = 0,391                           Ftabel      = 4,00
Constanta= 2,703
Sumber:Data primer,diolah kembali
Berdasarkan uraian Tabel 5.3 tentang hasil perhitungan regresi linear sederhana, maka persamaan regresi yang dibangun dengan menggunakan nilai-nilai yang diperlukan sebagai berikut :



Uraian tentang persamaan regresi di atas menunjukkan bahwa variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap pengawasan adalah varibel X (kinerja). Besarnya pengaruh dan kemampuan kinerja menjelaskan pengawasan adalah sebesar 40,1% berdasarkan nilai R square. Hal ini juga berarti setiap penambahan nilai sebesar 1.000 pada kinerja maka nilai pengawasan akan menigkat sebesar 6,34%. Sehingga variabel ini layak untuk diteliti.

a.    Pengujian Hipotesis Pengaruh  Secara Simultan
Pengujian hipotesis koefisien regresi secara simultan dilakukan dengan menggunakan analisis varian. Analisis varian dalam regresi sederhana pada hakikatnya untuk menunjukkan sumber variasi yang menjadi komponen dari model regresi. Dengan analisis varian ini akan dapat diperoleh pengertian tentang bagaimana pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Pengujian hipotesis menggunakan dengan bantuan software computer SPSS release 16 for windows berdasarkan analisis statistik.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis disimpulkan bahwa variabel X (Kinerja) memiliki hubungan dan pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y (pengawaan). Hal ini dibuktikan berdasarkan kriteria pengujian hipotesis pengaruh secara simultan dalam penelitian ini, adalah dengan membandingkan nilai Fhitung 39,563 > Ftabel 4,00. Dapat diartikan bahwa variabel independent (X) yaitu: Kinerja DPRD yang dimasukkan dalam model regresi, berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y) yaitu: Pengawasan APBD.  Berdasarkan fenomena tersebut di atas sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan untuk menolak H0 yaitu: diduga tidak ada hubungan dan pengaruh antara kinerja DPRD dalam inplementasi fungsi pengawasan APBD  dan menerima Ha yaitu: diduga terdapat hubungan dan perngaruh antara kinerja DPRD dalam implementasi fungsi pengawasan APBD atau bila dijabarkan secara mendasar bahwa dalam penelitian ini hipotesis yang pertama terbukti sebagai suatu kebenaran empiris (nyata) setelah diuji dengan hasil penelitian dilapangan.
Persentase pengaruh variabel independen terhadap nilai variabel dependen ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi (R Square). Pada hasil perhitungan diperoleh besarnya koefisien determinasi (R Square) adalah  0,401 Artinya pengaruh semua variabel independent terhadap perubahan nilai variabel dependen adalah 40,1 % dan sisanya 59,9 % dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel independen yang digunakan dalam model regresi linear sederhana. Persentase pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam persamaan regresi tersebut menunjukkan pengaruh yang cukup tinggi. Dengan demikian, jika diukur dari besarnya pengaruh variabel independent terhadap perubahan nilai variabel dependen tersebut, maka persamaan regresi yang dihasilkan adalah cukup baik dalam mengestimasi nilai variabel dependen.
BAB VI
PENUTUP
6.1.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penulisan ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Variabel independen dalam penelitian ini adalah kinerja DPRD memang memiliki pengaruh dengan variabel dependen yaitu implementasi pengawasn APBD Kota Palu. Hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan dengan software computer SPSS release 16 for windows yang menunjukkan bahwa kinerja DPRD memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengawasan APBD Kota Palu. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa hipotesis awal (h0) yaitu tidak ada hubungan dan pengaruh antara kinerja DPRD Kota Palu dalam implementasi fungsi pengawasan APDB ditolak dan hipotesis alternatif (ha) menunjukkan bahwa ada hubungan dan pengaruh antara kinerja DPRD Kota Palu dalam implementasi fungsi pengawasan APBD diterima. Berdasarkan hasil analisis regresi yang dilakukan diperoleh persamaan regresi yaitu : Ỹ= 2,703 + 0,578X. Kinerja DPRD Kota Palu memiliki pengaruh sebesar 40,1% terhadap implementasi fungsi pengawasan APBD dan sisanya sebesar 59,9% dipengaruh oleh faktor-faktor lain diluar penelitian. Berdasarkan perhitungan standard errof of the estimate, diperoleh nilai sebesar 1,947x1010 sehingga Kinerja DPRD (X) memiliki ketepatan 100% untuk menjelaskan pengawasan APBD Kota Palu.

6.2.    Saran
Sesuai dengan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang kiranya dinilai bermanfaat bagi pihak pemerintah maupun rekan-rekan peneliti berikutnya antara lain :
1.    Kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan APBD Kota Palu belum maksimal dengan ditemukannya banyak pelanggaran dalam pelaksanaan APBD Kota Palu,kiranya DPRD Kota Palu mampu meningkatkan kinerjanya sehingga dapat mengurangi tingkat pelanggaran dalam pelaksanaan APBD.
2.    Dalam melaksanakan fungsi pengawasan APBD, DPRD Kota Palu harus bersikap netral. Mengingat bahwa DPRD Kota Palu merupakan mitra kerja dari Pemerintah Kota Palu, sehingga tidak ada konspirasi untuk menghapus pelanggaran dalam penyusunan APBD. Karena Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait melaksanakan pekerjaan sesuai dengan pembagian anggaran dan persetujuan dari DPRD (fungsi anggaran).
3.    DPRD Kota Palu harus bersikap transparan dalam melaksanakan fungsi pengawasan APBD, sehingga masyarakat dapat mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD Kota Palu.

Tidak ada komentar: