Minggu, 06 Oktober 2013

Komunikasi melalui tarian topeng Panji Cirebon, ditujukan kepada manusia agar dapat bertingkah laku baik, bertutur kata santun dan berbudi luhur

-->
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
KAMPUS BANDUNG
HUBUNGAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
2012








BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah “transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi”. (Berelson dan Steiner, dalam Mulyana, 2002: 62). Sementara itu, pendapat lain mengemukakan bahwa:
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai atau gagasan. Pesan mempunyai tiga komponen, yaitu makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk organisasi pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat mempresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah dan sebagainya) ataupun tulisan (surat, esai, artikel, novel, puisi, pamflet, dan sebagainya). Kata-kata memungkinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dapat dirumuskan secara nonverbal, seperti melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh (acungan jempol, anggukan kepala, senyuman, tatapan mata, dan sebagainya), juga melalui musik, lukisan, patung, tarian. (Lasswell, dalam Mulyana, 2002: 63). Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Pentingnya pesan nonverbal ini, misalnya dilukiskan frase, “bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata: Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan, (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan, mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Jadi, defenisi mencakup perilaku yang disengaja ataupun tidak sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa hal tersebut bermakna bagi orang lain. (Samovar dan Porter, dalam Mulyana, 2002:
Beberapa subkultur tari dan musik menunjukkan kekhasan perilaku nonverbal penari atau penyanyinya ketika mereka sedang menari atau menyanyi. Bahasa tubuh penari yang menarikan tari Bali sangat khas, sekhas bahasa tubuh penari India ketika menarikan tari India. Bahasa tubuh penyanyi dangdut banyak menggoyangkan pinggul. Sama halnya, dengan pesan yang terkandung dalam tarian topeng Panji Cirebon, yakni dilihat dari bahasa tubuhnya, mengisyaratkan bahwa tariannya memiliki karakteristik yang lemah lembut, tidak banyak bergerak dan tingkat kesulitannya yang cukup tinggi. Sementara itu, pesan moral yang terkandung dalam tarian topeng Panji Cirebon, ialah mengharuskan manusia untuk bertingkah laku baik, sopan santun, lemah lembut dalam bertutur kata, serta berbudi luhur. Berdasarkan tradisi Jawa, pertunjukan topeng itu diciptakan oleh Sunan Kalijaga, putra Bupati Tuban yang sangat gemar akan kesenian dan akhirnya menjadi salah seorang wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Ketika pusat pemerintahan berpindah dari Jawa Timur ke Jawa tengah dan para raja memeluk agama Islam, pertunjukan topeng terlempar dari dalam istana dan kembali dipelihara oleh rakyat jelata yang belum sepenuhnya melepaskan kepercayaan asli mereka. “Dengan melihat kenyataan ini, Sunan Kalijaga memanfaatkan pertunjukan topeng (dan wayang kulit) yang digemari rakyat sebagai alat memberikan penerangan dan penyebaran agama Islam kepada rakyat banyak itu”. (Sal Murgiyanto: 1980:52-53). Namun, kini topeng Cirebon tidak lagi digunakan sebagai alat penyebaran agama Islam seperti zaman Sunan Kalijaga. Topeng Cirebon, kini lebih mengarah kepada kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia yang perlu dilestarikan, bukan lagi sebagai alat penyebaran agama Islam. Umat Islam sendiri di Indonesia merupakan yang terbesar di seluruh dunia. Oleh karena itu, rasanya tidak tepat, topeng Cirebon dikatakan sebagai alat penyebaran agama Islam saat ini. Toto Amsar Suanda (wawancara, 25 Mei 2007), sebagai salah satu ahli dan pemerhati topeng Cirebon, mengatakan bahwa “topeng Cirebon merupakan Qur’an yang ditarikan. Artinya, tarian topeng Cirebon memiliki makna dan pesan-pesan yang terdapat di dalam Al-Qur’an”. Topeng Cirebon, baik itu yang meliputi Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Klana dapat dijadikan sebagai ajang promosi kota Cirebon. Bahkan topeng Cirebon telah dianggap oleh para seniman di Indonesia mampu mempromosikan kota Cirebon, sekaligus memperkenalkan Indonesia dengan kebudayaan tradisionalnya yang tidak dimiliki bangsa lain. Topeng Cirebon juga telah merambah hingga ke mancanegara seperti Amerika, Belgia, Belanda, Italia, Perancis, Kanada, New Zealand, Jepang, dan negara-negara lainnya. Kegiatan promosi ini, sangat mendapat respon positif dari kalangan masyarakat luar negeri. Mereka beranggapan, bahwa kesenian yang dimiliki kota Cirebon ini, memiliki keunikan tersendiri, sehingga menimbulkan rasa keingintahuan untuk mengenalnya lebih dalam lagi. Toto Amsar Suanda mengatakan “kami sering mengadakan festival ke luar negeri, dengan harapan untuk memperkenalkan kesenian topeng Cirebon dapat diterima dengan baik oleh masyarakat mancanegara. Ternyata hal tersebut benar adanya, sehingga  kegiatan ini merupakan salah satu bentuk promosi kota Cirebon, lebih jauh lagi mengharumkan nama bangsa di masyarakat internasional”. (Wawancara, 24 Juli 2007).
“Di Cirebon para dalang (penari) topeng menganggap dirinya keturunan Pangeran atau Sunan Panggung, putra Sunan Kalijaga yang bukan saja menaruh perhatian terhadap seni topeng tetapi juga menarikannya sendiri”. (Sal Murgiyanto: 1980:53).
Makna sebuah kesenian bisa berubah sesuai dengan zamannya dan sesuai dengan orang yang memaknainya. Pemaknaan itu juga akan sangat tergantung kepada tujuan orang yang memberi makna itu. Demikian halnya dengan topeng Cirebon. Maknanya berubah dari kepercayaan lama, Hindu-Budha dan kemudian Islam. Namun, perubahan itu hanyalah menyangkut paham sesuai dengan alam pikirannya masing-masing, sedangkan intinya sama. Konsep pemikiran lama dalam topeng Cirebon, kemudian beralih pada konsep pemikiran Islam yang diprakarsai oleh para waliyullah. Peralihan itu tidak serta merta menghapus konsep awalnya, karena para wali pada saat itu sadar betul bahwa mereka adalah sekelompok minoritas. Untuk kepentingan penyebaran paham baru (agama Islam) mereka perlu menyesuaikan dirinya dengan kondisi dan paham mayoritas. Oleh sebab itu, wayang dan topeng dipilih sebagai media untuk penyebaran Islam tanpa menghancurkan paham dan konsep lamanya. Paham inilah yang kemudian jauh lebih dikenal daripada terdahulunya.
Kearifan para wali seperti itu, tentu saja mengundang simpati dan bahkan dukungan masyarakat, sehingga akhirnya banyak yang masuk Islam. Metode dakwah yang disampaikannya bukanlah metode kekerasan melainkan metode kedamaian. Seni wayang dan topeng dipilih dengan alasan, selain seni tersebut amat digemari masyarakat juga untuk menjaga ketenteraman masyarakat yang sudah terbina.
Topeng Cirebon, dalam konteks kehidupan masyarakat Cirebon, mempunyai peranan yang sangat penting. Masyarakat dan khususnya kalangan seniman Cirebon mempercayai, bahwa topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dulunya merupakan media dalam rangka penyebaran agama Islam di Jawa Barat, khususnya di daerah Cirebon. “Beberapa pertunjukan rakyat termasuk topeng, telah dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga sebagai alat dalam rangka menyebarluaskan agama Islam. Wali itu sendiri tampil membawakan pertunjukannya seperti di Pajajaran”. (Suryaatmadja, 1980:31).

Di Cirebon, khususnya dikalangan seniman, penari topeng itu disebut dalang. Dalang topeng sama artinya dengan penari topeng. Mereka memang tak biasa menyebut penari dan tari. Penari mereka sebut dalang dan tari disebut joged. Demikian pula kata topeng, artinya bukan penutup muka, seperti yang diterangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia. Topeng sebagai penutup muka disebutnya kedok. Dalam pertunjukkan topeng Cirebon (Topeng Dinaan), ada lima kedok pokok yang ditarikan secara berurutan menurut karakteristiknya masing-masing. Kelima kedok pokok itu ialah,Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Klana Di samping itu ada juga beberapa kedok bodor seperti Jinggananom (yang nantinya berperang dengan Tumenggung Mangangdiraja ), Pentul dan Tembem Kelima kedok tersebut, kecuali Jinggananom, berbicara kepada kita banyak hal, terutama tentang kehidupan alam semesta yang makro dan mikro (kehidupan kita sendiri). Tentu saja kita bisa menafsirkannya sendiri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Susunan penyajian topeng Cirebon secara umum dimulai dari topeng Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Klana. Namun di beberapa tempat ada yang mengakhirkan topeng Rumyang. Berikut adalah perbedaan susunan penyajian dan karakteristik masing-masing dari topeng Cirebon.
NO.  POLA PENYAJIAN I  POLA PENYAJIAN II
1. Panji  Panji
2. Pamindo/Samba  Pamindo/Samba
3. Rumyang  Tumenggung
4. Tumenggung  Klana
5. Klana  Rumyang
Jika susunan ini dibaca dari arah kiri ke kanan atau dari atas ke bawah, maka ia akan bermakna sebagai siklus kehidupan manusia. Siklus yang dimaksud adalah lahir, dewasa dan mati, atau gambaran dari tingkat nafsu manusia yakni sawwiyah, lawwamah, amarah dan mutmainah.
Berikut akan dijelaskan mengenai keempat nafsu manusia sebagai berikut:
Sawiyah yaitu nafsu yang keluar dari hidung, artinya bila sudah kepegang ilmunya Panji maka harus dikembangkan.
Lawwamah yaitu nafsu dari mulut ada pada kedok Patih atau Tumenggung.
Amarah yaitu nafsu yang keluar dari telinga. Ini adalah nafsu kemarahan adanya pada kedok Klana, lebih mencintai yang sifatnya dunia, kecantikan luar semata, maka hidungnya dibuat panjang, itu menandakan hidungnya orang gila perempuan atau hidung belang.
Mutmainah yaitu nafsu yang keluar dari hati, sifatnya angen-angen , nafsu hati paling suci, paling berikut rohaninya dan jasmaninya.
Nafsu mutmainah adalah yang dapat menjunjung tinggi derajat manusia sedangkan ke-empat nafsu yang lain adalah nafsu yang dapat menghancurkan manusia karena keluarnya dari jasmani manusia”. (Royani, dalam Kartika, 1999:50).
Namun sebaliknya, jika susunan penyajian itu dibaca dari arah kanan ke kiri atau dari bawah ke atas, maka makna yang muncul adalah tingkatan hidup manusia, yakni syariat, hakekat, tarekat dan marifat.
Topeng Panji menggambarkan manusia yang baru lahir. Gerakan tarinya senantiasa kecil, lembut dan halus. Langkahnya minimalis dan lebih banyak diam. Kedoknya yang berwarna putih dengan hiasan yang amat sederhana, menggambarkan kesucian, sesuci bayi. Ia tidak perlu dirias, mukanya dibiarkan alami.
Panji adalah nafsu mutmainah , nafsu yang bersifat membimbing dan menyucikan serta menuntun salik.
Satu-satunya topeng yang mengandung kontras, adalah gambaran seseorang yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsu, tidak tergoda dengan segala yang bersifat keduniaan. Manusia marifat adalah insan kamil, yang tindak-tanduknya tidak akan goyah sedikit pun ketika menghadapi cobaan atau mendapat anugrah dari Allah. Dia tetap tenang dan tawakal. Manusia marifat selalu sadar, bahwa gerak dan usik serta nafasnya semua tergantung Allah. Pasrah dan ikhlas adalah ciri kehidupan tingkat marifat.
Topeng Panji berwarna putih. Matanya liyep , pandangannya merunduk dan senyumnya dikulum. Raut wajahnya (wanda) menunjukkan seseorang yang alim, tutur katanya lemah lembut dan gerakannya halus. Dalam topeng Cirebon kedok ini ditarikan  berkarakter alusan (halus) seperti halnya tokoh Arjuna dalam cerita wayang. Tariannya menggambarkan seseorang yang berbudi luhur, penuh kesabaran dan tahan atas segala godaan. Ini tercermin dari iringannya yang bertolak belakang (kontras) dengan tariannya. Tari topeng Panji adalah tarian paradoks. Bagi kebanyakan penonton awam, tarian ini termasuk yang paling tidak disukai karena gerakannya minim dan bukan karena gambaran kehalusan atau kebaikannya.
Dalam satu tarian topeng Panji Cirebon, penarinya dapat memperagakan dalam durasi yang berbeda-beda. Penari topeng atau yang biasa disebut dalang, ada yang menarikan topeng Panji selama 15 menit, 45 menit, bahkan hingga satu jam. Dalang topeng yang menarikan topeng Panji Cirebon selama 15 menit, hanya mempersingkat gerakan tariannya atau meminimalisnya. Sedangkan durasi tarian selama 45 menit, tidak mengubah makna tariannya, namun hanya memperbanyak gerakan yang sama dengan arah yang berbeda. Begitu juga durasi hingga satu jam, dalang topeng menarikannya dengan memperbanyak gerakannya, bisa tiga atau empat kali lipat dari durasi terpendeknya (15 atau 45 menit).
Topeng Pamindo ditarikan pada kesempatan kedua. Warnanya putih dengan hiasan yang melingkar di atas dahinya. Di tengahnya terdapat hiasan kembang tiba dan pilis yang melingkar di pipinya. Matanya liyep , hidungnya sedikit mendongkak dan mulutnya sedikit menganga, seperti seseorang yang tengah tertawa cengengesan. Kedok ini berkarakter genit atau lincah. Gerakannya gesit dan menggambarkan seseorang yang tengah beranjak dewasa, periang dan penuh suka cita.
Topeng Rumyang sewanda dengan Pamindo, namun tanpa hisan rambut. Dari dahinya melingkar hiasan pilis sampai pipi bagian bawah. Warnanya merah jambu, tetapi ada juga yang berwarna coklat muda. Karakter tarinya termasuk yang lincah, namun lebih lamban dari gerakan Pamindo. Gerakan tarinya menggambarkan seseorang yang penuh kehati-hatian dan terkesan ragu-ragu. Di Cirebon, kata Rumyang berarti ramyang-ramyang , yang artinya mulai terang. Ini gambaran seseorang manusia yang mulai mengenal kehidupan. Topeng Tumenggung sering disebut juga kedok Patih. Kedok ini selalu dicat dengan warna yang gelap, coklat muda atau merah muda. Wandanya menyiratkan seseorang yang pemberani dan berwibawa. Matanya agak melotot, berkumis dan berjambang. Tariannya berkarakter gagah dengan gerakan-gerakan tegas sebagai gambaran seseorang yang berpangkat dan mempunyai kekuasaan.
Topeng Klana umumnya dicat warna merah. Melihat perangainya sudah dapat ditebak, bahwa kedok ini berkarakter gagah dan kasar. Matanya terbelalak, berkumis tebal dan berjambang. Keistimewaan dari Tari Topeng Klana adalah, menggambarkan seseorang yang bertabiat buruk, namun tariannya justru banyakyang disenangi penonton.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: Bahwa pesan yang dikomunikasikan melalui tarian topeng Panji Cirebon, ditujukan kepada manusia agar dapat bertingkah laku baik, bertutur kata santun dan berbudi luhur. Pesan tersebut bersifat nonverbal dan hanya dapat ditangkap dan dimaknai melalui gerakan tari dan musiknya.
1.3. Identifikasi Masalah
Setelah melakukan penelitian awal, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan dijadikan dasar untuk mengetahui lebih jauh mengenai pesan dalam tarian topeng Panji Cirebon sebagai berikut:
1. Bagaimana topeng Panji Cirebon dimaknai sebagai suatu pesan yang diungkapkan melalui gerak dan musik dalam konteks kehidupan masyarakat Cirebon?
2. Bagaimana pesan moral itu disampaikan melalui topeng Panji Cirebon?
1.4. Alasan Pemilihan Masalah
Masalah yang dipilih dalam penelitian ini, karena ketertarikan penulis untuk mengupas lebih jauh mengenai pesan dalam tarian topeng Panji Cirebon. Selain itu, keunikan pesan dalam tarian topeng Panji Cirebon, merupakan daya tarik bagi penulis untuk menelusuri lebih jauh lagi. Pesan dalam tarian topeng Panji Cirebon, ialah nonverbal, yakni menginformasikan kepada manusia agar bertingkah laku baik, bersikap dan bertutur kata santun, serta berbudi luhur. Dengan kata lain, topeng Panji Cirebon merupakan tokoh dalam cerita Panji, yang ditarikan oleh senimannya, kemudian memberikan pesan moral di dalamnya.
1.5. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Makna pesan yang diungkapkan melalui gerak dan musik dalam konteks kehidupan masyarakat Cirebon.
2.  Pesan moral yang disampaikan melalui topeng Panji Cirebon.


1.6. Pembatasan Masalah dan Pengertian Istilah
Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka penulis membatasi masalah sesuai judul yang diketengahkan, yakni permasalahan berkisar pada pesan dalam tarian topeng Panji Cirebon. Pesan tersebut bersifat nonverbal, yang divisualisasikan dalam bentuk tariannya dan mengandung nilai-nilai moral bagi manusia untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Topeng Panji menginformasikan kepada manusia agar dapat berlaku sabar, bertingkah laku baik, serta berbudi luhur. Pengertian istilah akan dipaparkan sesuai judul yang diteliti penulis.
Berikut adalah pengertian istilah:
Pesan : Perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain.
Tari :  Gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi bunyi-bunyian (musik, gamelan).
Topeng Panji : Adalah salah satu jenis tarian yang terdapat dalam pertunjukan topeng Cirebon. Kata Panji, menurut seniman topeng Cirebon artinyasama dengan siji (bahasa Jawa) yang artinya satu. Hal ini sesuai dengan sistem pertunjukan topeng Cirebon itu sendiri yang senantiasa menampilkan topeng Panji pada urutan pertama.
1.7. Kerangka Pikir
Sebagai pegangan dasar untuk mengetahui pesan yang disampaikan dalam topeng Panji, dan  mengetahui hubungan teks dan konteksnya, perlu disampaikan beberapa pandangan para ahli mengenai komunikasi, semiotika, serta topeng Panji itu sendiri. Hal ini penting mengingat pesan itu sendiri, khususnya dalam topeng Panji, pada dasarnya adalah sesuatu yang dikomunikasikan lewat tanda-tanda dan simbol-simbol.
Komunikasi ialah “ketika suatu sumber menyampaikan suatu proses kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”. (Miller, 2002:62). Sementara itu, pesan agar membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki, ialah:
Pertama pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
Kedua, pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga secara bersamaan dimengerti.
Ketiga, pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
Keempat, pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dan komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. (Scrhamm, 2003: 41-42).
Adapun fungsi komunikasi menurut Lasswell adalah sebagai berikut:
a.       The surveillance of the environment
            (pengamatan lingkungan)
b.      The correlation of the parts of society in responding to the environment
            (korelasi kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika menanggapi lingkungan)
c.       The transmission of the social heritage from one generations to the next
           (transmisi warisan sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain) (2003: 253                     254).
Sementara itu, komunikasi terdiri dari verbal dan nonverbal, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.
 Ray L. Birdwhistell mengemukakan 65 % dari komunikasi tatap muka adalah nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian, 93 % dari semua makna sosial dalam komunikasi tatap muka diperoleh dari isyarat-isyarat noverbal.(Knapp, 2002: 312).
Setiap orang, dalam arti tertentu, membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa maupun pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan.
Makna atau pesan sesuai dengan maksud pihak komunikator ditangkap oleh pihak lain. Hanya, perlu diingat bahwa simbol-simbol komunikasi tersebut adalah konstektual dalam suatu masyarakat dan kebudayaannya. Memang ada sekian banyak definisi kebudayaan. Dari kemungkinan lebih seratus macam definisi tentang kebudayaan, yang diajukan ilmuwan Amerika “spesialis” Jawa, Clifford Geertz, barangkali lebih relevan dalam kaitan dengan simbol-simbol komunikasi.
Dikatakan lebih lanjut mengenai simbol-simbol komunikasi sebagai berikut:
Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna- makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.
Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan. (Geertz, dalam Susanto, 1992:57). Titik sentral  rumusan kebudayaan Geertz terletak pada simbol, yakni manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai. Di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial.
Pesan komunikasi dinyatakan dengan tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut terdapat dalam semiotika, yakni ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). “Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal objek objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda”. (Barthes, 1988:179: Kurniawan, 2001:53).
Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah “kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Manusia memang satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya”. (Langer, 2002: 83-84). “Keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah keistemewaan mereka sebagai animal symbolicum ”. (Cassier, 2002:84). Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan dan kecintaan kepada negara.
Lebih lanjut lagi dijelaskan mengenai simbol sebagai berikut:
Bahwa simbol tidak mewakili objeknya, tetapi wahana bagi konsep tentang objek. Dalam bicara mengenai sesuatu, kita bicara tentang konsep mengenai sesuatu itu, dan bukan sesuatu itu sendiri; dan semuanya ini tentang konsep, bukan sesuatu itu, simbol-simbol harus diartikan.
Bilamana sebuah simbol diungkapkan, maka muncullah makna. Lebih jauh lagi Langer membedakan antara simbol diskursif dan presentatif.
Simbol diskursif digunakan dalam bahasa tulis dan lisan untuk keperluan komunikasi dengan pihak lain. Jadi, simbol ini lebih berupa penjelasan tentang sesuatu. Sedangkan simbol presentasi, misalnya gambar, merupakan bahasa presentasi suatu makna yang tak terkatakan dalam simbol diskursif. (Langer, 2006: 43). Jadi, simbol ini bersifat penggambaran. Tetapi, simbol seni, menurut Langer, melampaui kedua jenis simbol di atas. Simbol seni merupakan wilayah ketiga simbol. Seni adalah fenomena sensoris yang mengandung makna implisit, misalnya dalam ritus dan mitos, namun lebih bersifat besar dan umum. Pelaksanaan upacara ataupun kesenian merupakan suatu simbol: Simbol yang terdapat pada hal yang bersifat relegius merupakan symbol konstitutif, di mana berbagai kelompok masyarakat secara bersama melak- saksanakan kegiatan yang bersifat relegius. Simbol konstitutif bentuk kongkritnya adalah berupa kepercayaan dan dasar inti prilaku keagamaan, atau agama dilihat sebagai sistem simbol dapat menghubungkan manusia dengan beberapa pengalaman yang bersifat transendental, merepresentasikan hakikat hal yang bersifat suci atau kudus berisi kebaikan, kebenaran dan kekuatan. (Hadi, 1999:54).
Sedangkan pendapat lainnya memandang, bahwa simbol bukanlah tanda semata. Tanda dan simbol adalah dua hal yang pengertiannya dipisahkan. Simbol bila diartikan secara tepat, tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang pembahasan yang berlainan: tanda adalah bagian dari dunia fisik; symbol adalah bagian dari dunia-makna manusiawi. Tanda adalah “operator”, simbol adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan dipergunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki nilai fungsional. (Cassier, 1987:48).
Sebagai simbol, kegiatan upacara  mempunyai hubungan dua arah, yakni hubungan yang bersifat horizontal dan vertikal, yang dinyatakan seperti di bawah ini:
Perbuatan manusia selalu berdimensi dua (dwimatra). Satu dimensi khusus dari perbuatan konkret  satu dimensi yang memprabayangkan latar belakang kekal. Dengan itu, setiap perbuatan khusus bersifat simbolis; melambangkan kenyataan yang mengatasinya. Nilai immanen mengarah ke nilai transenden. Tanda lambang bukanlah sesuatu yang timbul di luar
perbuatan manusia. (Subagya, 1981:115).
Telah berabad-abad yang lampau, seni tari, baik yang mengenakan topeng ataupun tidak, dipergunakan mengiringi upacara-upacara dari semua aspek penting kehidupan, dan tidak kurang juga kematian. Alasan-alasan kuno yang dikemukakan oleh Holt amat penting dipaparkan di sini, karena penjelasannya berkaitan erat dengan tari upacara ( ritual dance ). Ia menjelaskan bahwa Tari adalah satu benang-benang kesinambungan yang paling kokoh pada kebudayaan Indonesia. Dengan aman kita bisa menduga bahwa penduduk kepulauan Indonesia, seperti pada kemanusiaan yang lain, selalu menari bila menemukan rahasia gerak ritmis yang mencuat dari rangsangan, apakah dari keinginan, ketakutan atau kegembiraan. ‘Magi’ yang melekat pada tari adalah pembangkitannya akan vitalitas pada penari dan penonton keduanya. Dilahirkan dari kesuburan serta dilengkapi oleh keterampilan, tari dari masa yang teringatkan telah memperkokoh kehidupan perseorangan serta masyarakat, terutama aspek-aspek religiusnya. Di dunia yang belum beradab, tari adalah sebuah jampi-jampi pembebasan seperti nyanyian dan doa-doa. Selagi hidup ditegaskan kembali dengan kekuatan tertentu diambang kematian, dan karena menghidupkan terus kehidupan berarti kesuburan tak dapat dipisahkan dari ritus-ritus kematian kuna, seperti halnya kebangkitan kembali dari kematian dalam kepercayaan Kristiani. (Holt, 2000:124).
Beberapa pendapat tentang konteks pertunjukan topeng Cirebon dalam kehidupan masyarakat, baik pada masa lampau maupun pada masa kini, dikemukakan oleh beberapa tokoh pemerhati topeng Cirebon, seperti di bawah ini:
Bahwa pertunjukan topeng berdasarkan motivasi penampilannya menurut tradisi ada tiga jenis penyelengaraan, yaitu
(a) perayaan upacara
perorangan (anggota masyarakat yang mengundang), misalnya tanggapan perayaan hajatan, sunatan atau pernikahan,
 (b) upacara komunal
(kelompok masyarakat yang menyelenggarakan),
(c) barangan
(seniman sendiri yang mengadakan). (Endo, 1995:111).
Menurut Jakob Sumardjo, tarian Panji sebagai pahlawan budaya Jawa ini, memakai topeng atau kedok. Ini juga merupakan kesatuan dua konsep religi lama dan Hindu.  Topeng Panji merupakan simbol kehadiran roh atau dewa yang menjelma dalam diri raja, yang sesuai dengan mitos Panji, selalu menyamar selama pengembaraannya mencari kekasihnya. Begitu pula dengan Candrakirana juga menyamar. “Samaran” ini adalah kedok atau topeng yang menyembunyikan identitas dirinya. Mereka kadang sudah bertemu, tetapi karena “menyamar”, maka keduanya tidak saling mengenal. Bahkan keduanya saling berperang (pasangan oposisi). Seperti matahari dan bulan, siang dan malam, sulit untuk “bertemu”. Tetapi, akhirnya “matahari” dan “bulan” ini bertemu juga, kawin dalam harmoni sempurna, yakni pada waktu “terang bulan”. Dalam terang bulan, dunia terang benderang seperti siang, tetapi bukan siang. Kenyataannya, terang bulan adalah malam, karena tidak gelap.
Terang bulan adalah perkawinan semesta purba Peristiwa ini, dalam bahasa masyarakat kerajaan Majapahit, adalah peristiwa perkawinan Panji dan Candrakirana.
Tarian topeng Panji adalah tarian untuk menghadirkan kekuatan-kekuatan semesta yang paradoksal. Dengan tarian ini, maka asas-asas paradox semesta, kelaki-lakian dan keperempuanan, dihadirkan. Dewa pencipta itu sendiri dihadirkan lewat mitos dan lambang Panji. Panji adalah paradox itu sendiri. Ia bersifat laki-laki dan perempuan, ia matahari dan bulan, ia siang dan malam, ia hidup dan kematian. Waktu dan ruang paradoks ada dalam diri dewa ini. Dengan pemahaman demikian, maka kita mengetahui mengapa tarian Panji bukan tarian sembarangan. Tarian topeng ini adalah hak khusus raja-raja, karena mereka inilah turunan dari Dewa Panji tadi.(Sumardjo, 2002:21).
1.8. Metode dan Teknik Penelitian
Berikut ini akan dipaparkan secara singkat pengertian atau makna dari pendekatan kualitatif dan metode etnografi.
1.8.1. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah: Penelitian yang bersifat empiris (dapat diamati dengan pancaindera sesuai dengan kenyataan), hanya saja pengamatan atas data bukanlah berdasarkan ukuran-ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti dan harus dapat disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain, melainkan berdasarkan ungkapan subjek penelitian, sebagaimana yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek penelitian. Pendekatan kualitatif menggunakan konsep kealamiahan (kecermatan, kelengkapan, atau orisinalitas) data dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Pendekatan kualitatif terutama layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan yang agak artifisial, seperti dalam survei atau eksperimen. Peneliti kualitatif lebih menekankan proses dan makna ketimbang kuantitas, frekuensi atau intensitas (yang secara matematis dapat diukur), meskipun peneliti tidak mengharamkan statistik deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi atau presentase untuk melengkapi analisis datanya. (Mulyana, 2007:11).
1.8.2. Metode Etnografi
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian. Menurut Spradley metode ini ialah sebagai berikut:
Tujuan utama aktifitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar, melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi, etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu. Etnografi belajar dari masyarakat. (Spradley, 2007: 4).
Sementara itu, Spradley mengemukakan langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian etnografi meliputi hal-hal sebagai berikut:
Langkah I, yakni menetapkan informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi beberapa karakteristik dan informan yang baik.
2. Untuk menemukan informan yang sebaik mungkin dalam mempelajari keterampilan wawancara dan melakukan penelitian etnografi.
Langkah II, yakni mewawancarai informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur dasar dalam wawancara etnografis.
2. Untuk memformulasikan dan menggunakan beberapa macam penjelasan etnografis.
3. Untuk melakukan wawancara praktis.
Langkah III, yakni membuat catatan etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar catatan etnografis.
2. Untuk menyusun buku catatan penelitian lapangan.
3. Untuk melakukan kontak dengan seorang informan dan melakukan wawancara pertama.
Langkah IV, yakni mengajukan pertanyaan deskriptif, tujuannya:
1. Untuk melaksanakan etnografis pertama.
2. Untuk memahami proses perkembangan hubungan dengan informan.
3. Untuk mengumpulkan sampel dari percakapan informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif.
Langkah V, yakni melakukan analisis wawancara etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar analisis etnografis.
2. Untuk mempelajari bagaimana tercita dengan simbol-simbol budaya.
3. Untuk memulai suatu analisis domain dengan melakukan pencarian suatu domain pendahuluan.
Langkah VI, yakni membuat analisis domain, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar hubungan semantik serta peran hubungan itu dalam pembuatan suatu analisis domain.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam menjalankan analisis domain.
3. Untuk melakukan analisis domain sistematis terhadap semua data yang terkumpul sekarang.
4. Untuk memasukkan satu atau dua pertanyaan struktural ke dalam wawancara etnografis.
Langkah VII, yakni mengajukan pertanyaan struktural, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi berbagai jenis pertanyaan struktural.
2. Untuk mempelajari menggunakan pertanyaan struktural dalam etnografi.
3. Untuk menguji domain-domain yang telah dihipotesiskan dan menemukan istilah-istilah tercakup yang lain untuk domain-domain itu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan struktural.
Langkah VIII, yakni membuat analisis taksonomik, tujuannya:
1. Untuk memilih suatu fokus yang bersifat sementara untuk membuat analisis mendalam.
2. Untuk memahami berbagai taksonomi rakyat dan bagaimana taksonomi itu mengorganisir domain.
3. Untuk mempelajari bagaimana membuat analisis taksonomik.
4. Untuk membangun suatu taksonomi rakyat untuk satu domain atau lebih dengan mengikuti langkah-langkah dalam mengerjakan analisis taksonomik.
Langkah IX, yakni mengajukan pertanyaan kontras, tujuannya:
1. Untuk memahami prinsip-prinsip penemuan utama dalam studi makna budaya.
2. Untuk mempelajari cara-cara untuk menemukan berbagai kontras atau perbedaan diantara berbagai simbol budaya.
3. Untuk memformulasikan dan menggunakan berbagai pertanyaan kontras.
Langkah X, yakni membuat analisis komponen, tujuannya:
1. Untuk memahami peran analisis komponen dalam studi sistem makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam membuat analisis komponen.
3. Untuk melakukan analisis komponen yang sistematik pada satu rangkaian kontras atau lebih.
4. Untuk menggunakan pertanyaan kontras untuk membuktikan dan melengkapi analisis komponen.
Langkah XI, yakni menemukan tema-tema budaya, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar tema-tema dalam sistem makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi beberapa strategi membuat suatu analisis tema
3. Untuk melaksanakan suatu analisis tema pada suasana budaya yang sedang dipelajari.
Langkah XII, yakni menulis suatu etnografi, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar penulisan etnografis sebagai bagian dari proses penerjemahan.
2. Untuk mengidentifikasi tahap-tahap yang berbeda dalam penulisan etnografi.
3. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam melaksanakan suatu etnografi.
4. Untuk menulis suatu etnografi. (Spradley, 2007:65-70).
1.8.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah:
1. Langkah pertama yang dilakukan, dengan mengumpulkan berbagai sumber tertulis berupa buku, jurnal ilmiah, dokumen pribadi, dokumen resmi, makalah dan sebagainya. Langkah ini penting, mengingat banyaknya tulisan- tulisan yang mengandung sudut pandang berbeda.
2. Langkah kedua, yakni pengamatan atau observasi. Artinya, penulis melakukan pengamatan secara langsung  terhadap pertunjukan topeng Cirebon, khususnya topeng Panji. Selain itu, pengamatan juga dilakukan melalui rekaman audio visual.
3. Langkah ketiga, ialah dengan melakukan wawancara. Wawancara, seperti yang ditegaskan antara lain, “mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan, memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain.” (Guba, dalam Moleong, 1991:135).
Wawancara dilakukan dengan para tokoh (dalang) topeng Cirebon dan para tokoh tari, antara lain Toto Amsar Suanda (ahli tari), Rasinah, Keni, Sutini, (dalang topeng Cirebon) dan lain-lain. Wawancara terhadap tokoh-tokoh tersebut, untuk mencapai sasaran penilitian, yakni mendapatkan data mengenai pesan dalam tarian topeng Panji Cirebon.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berikut ini akan dipaparkan mengenai contoh penelitian lain sebagai Tinjauan Penelitian Terdahulu. Tujuan mencantumkan contoh penelitian lain ialah dengan maksud agar penelitian yang diteliti penulis tidak berdasarkan plagiat atau dengan istilah lain menjiplak karya tulis peneliti lain. Hal ini hanya sebagai perbandingan dengan karya tulis orang lain, sehingga dapat dilihat perbedaannya dengan penelitian yang penulis kerjakan. Artinya, fokus penelitiannya sangat berbeda dan sama sekali unsur penjiplakan dapat dihindarkan. Sementara itu, penulis meneliti pesan dalam tarian topeng Panji Cirebon sebagai subjek penelitian. Sedangkan untuk membandingkan dengan penelitian lainnya, maka penulis mengambil contoh karya tulis atau penelitian lainnya sebagai berikut:
1.    Pada penelitian terdahulu dengan judul “Pertunjukan Tari Topeng Cirebon (Studi Kasus Tentang Upacara Mapag Sri di Desa Pangkalan Kecamatan weru Kabupaten Cirebon”. Yang ditulis oleh Yoyoh Siti Mariah (Program Studi Hubungan Masyarakat Fikom Unpad 2008). Menganalisis tentang pertunjukan Tari Topeng Cirebon dalam upacara “Mapag Sri” dengan menggunakan metode pendekatan etnografi. Pelaksanaan Upacara “mapag sri” dilakukan rutin setahun sekali setiap akan tiba masa tanam padi. Pada zaman dahulu upacara ini dilakukan oleh pihak kerajaan dan masyarakat atau rakyat setempat diundang untuk menghadiri acara tersebut. Pada upacara mapag sri terdapat beberapa ritual yang harus dilakukan yaitu membawa sesajian, membakar menyan, dan berdoa untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Upacara mapag sri rutin satu tahun sekali oleh masyarakat desa pangkalan, mereka mempercayai tentang mitos dalam upacara “mapag sri” yang berarti menjemput Dewi Sri dan Dewi Kemakmuran. Oleh karena itu tujuan penelitian ini mengacu pada konsep etnografi yaitu Untuk mempelajari cara-cara untuk menemukan berbagai kontras atau perbedaan diantara berbagai simbol budaya dan Untuk memahami peran analisis komponen dalam studi sistem makna budaya.
2.    Pada penelitian terdahulu dengan judul skripsi : “Reprentasi Fase Kehidupan Manusia dalam Tari Topeng Cirebon” yang ditulis oleh Tjahya Murni (Program studi Manajemen Komunikasi, 2008. Fikom Unpad) menganilisis tentang fase kehidupan manusia dengan pendekatan etnografi. Penjelasan bahwa kelima tari topeng Cirebon tersebut merupakan fase kehidupan manusia dari awal hingga kehidupan akhir manusia, setelah itu pemunculan ideology yang membentuk mitos bahwa kehidupan manusia adalah sebuah proses untuk membuat dan membentuk manusia agar bersikap dan berperilaku lebih dewasa dana beretika dalam memandang kehidupan.
Jika dibandingkan dengan tari topeng panji menggambarkan bahwa tari topeng Panji dijadikan sebagai sarana untuk melatih kejiwaan seseorang, sehingga menimbulkan kebersihan dalam bathin maupun fisik. Hal tersebut, mengingatkan kita kepada orang-orang Budha yang selalu bertapa atau bermeditasi di tempat-tempat yang jauh dari keramaian. Misalnya, di gua-gua, orang Budha melakukan hal tersebut sebagai sifat bawaan atau budaya yang diciptakan secara turun temurun, dan aktifitas itu hingga kini masih tetap ada. Bermeditasi seperti yang orang Budha lakukan, pada dasarnya melatih kesabaran, pemusatan pikiran atau konsentrasi terhadap suatu hal, berperang melawan hawa nafsu, dan sebagainya. Hal tersebut, dimaknai sama oleh tari topeng Panji yang melambangkan kehalusan dan kelemah lembutan geraknya.
3.    Pada penelitian terdahulu dengan judul skripsi : “(Makna Simbol-Simbol Tarian Topeng Tumenggung Cirebon)”. Dengan menggunakan pendekatan etnografi yang ditulis oleh Oon Sujono (Program Studi Hubungan Masyarakat, 2010. Fikom Unpad) menganilisis tentang Symbol dalam karakter Tari Topeng Tumenggung Cirebon yang menggambarkan seorang ponggawa (prajurit dengan kedudukan tinggi) kerajaan yang siap siaga untuk melaksanakan tugas, Symbol dalam koreografi Tari Topeng Tumenggung Cirebon ini yaitu menggambarkan seorang manusia yang memiliki kedewasaan yang diperlihatkan dengan gerakan-gerakan tari topeng tumenggung daan Symbol kedok Tumenggung Cirebon menggambarkan seorang sikap kedewasaan manusia yang beribawa dan bertanggung jawab.
Pada penelitian penulis mengenai “Makna Simbol-simbol Tarian Topeng Tumenggung Cirebon: yang menggunakan pendekatan etnografi menjelaskan mengenai tanda-tanda fisik yang mengacu pada objek penelitian yang ada dalam Tarian Topeng Tumenggung Cirebon seperti karakteristik, busana gerakan tari, serta atribut lainnya yang secara rinci.
           Berbeda dengan fokus penelitian yang penulis kerjakan, topeng Panji sebagai tari                            meditasi, selalu mengarahkan pandangannya kepada hal yang bernuansa olah jiwa atau kesehatan jiwa. Hal tersebut, persis dengan yoga yang dianggap sebagai bagian dari kegiatan olahraga, selain dari meditasi ala Budha. Yoga pun menghilangkan gerakan atau aktifitasnya yang bersifat agresif.
Sementara itu, penulis meneliti topeng Panji dari aspek pesannya, yakni bersifat nonverbal dan mengandung moral di dalamnya. Bersifat nonverbal, karena dikomunikasikan tanpa kata kata, yang ada ialah berupa gerakan-gerakan, warna dan sifat-sifat topeng Panji sebagai bentuk karakteristiknya,
2.2. Matriks Penelitian
Judul
Tujuan
Hasil
Perbedaan
Persamaan
Kritik
“Pertunjukan Tari Topeng Cirebon (Studi Kasus Tentang Upacara Mapag Sri di Desa Pangkalan Kecamatan weru Kabupaten Cirebon”. Yang ditulis oleh Yoyoh Siti Mariah (Program Studi Hubungan Masyarakat Fikom Unpad 2008
Untuk mengetahui latar belakang, pelaksanaan dan mitos pertunjukan Tari Topeng Cirebon pada Upacara “mapag sri di desa Pangkalan
Latar belakang pertunjukan Tari Topeng Cirebon pada upacara “Mapag sri” merupakan ritual tahunan yang dilaksanakan setiap akan tiba musim menanam padi di desa pangkalan yang mengandung mitos bahwa dengan melaksanakan ritual upacara “Mapag Sri akan mendapat berkah dari arwah leluhur dan nenek moyang untuk kemajuan
1). Metode Penelitian.
2). Pembahasan Masalah.
3). Judul Penelitian.
1). Metode Penelitian.
2). Pembahasan Masalah.
3). Judul Penelitian.
1). Tema penelitian.
2). Konsep penelitian.


1). Tema penelitian.
2). Konsep penelitian.


Pada penelitian ini menitikberatkan pada Upacara Mapag sri, meskipun di dalam ritual tersebut terdapat pertunjukkan Tari Topeng Cirebon yang merupakan tema dari penelitian ini. Oleh karena itu pembahasannya pun lebih cenderung mengupas masalah “mapag sri”.
“Reprentasi Fase Kehidupan Manusia dalam Tari Topeng Cirebon” yang ditulis oleh Tjahya Murni (Program studi Manajemen Komunikasi, 2008. Fikom Unpad).
Untuk mengetahui makna denotative dan konotatif dan mitos mengenai Representasi Kehidupan Manusia dalam Tarian Topeng Tumenggung Cirebon
Representasi pada tari topeng Cirebon tersebut merupakan fase kehidupan manusia dari awal hingga kehidupan akhir manusia. Pemunculan ideology yang membentuk mitos bahwa kehidupan manusia adalah sebuah proses perjalanan yang penuh warna
1). Metode Penelitian.
2). Pembahasan Masalah.
3). Judul Penelitian.
1). Tema penelitian.
2). Konsep penelitian.
Pada penelitian ini dalam pembahasannya meskipun mengupas masalah Tari Topeng Cirebon, namun kurang dapat dipahami khususnya bagi pembaca karena penjelasan dalam tiap bagian tari Topeng Cirebon kurang lengkap dan terperinci.
“(Makna Simbol-Simbol Tarian Topeng Tumenggung Cirebon)”. Dengan menggunakan pendekatan etnografi yang ditulis oleh Oon Sujono (Program Studi Hubungan Masyarakat, 2010. Fikom Unpad
Untuk mengetahui tanda yang digunakan dalam tarian topeng tumenggung Cirebon dan untuk mengetahui makna apa yang terkandung dalam tarian topeng tumenggung Cirebon.
Sebagai hasil kebudayaan, tari topeng meliputi aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa


Pada penelitian ini mengupas mengenai symbol-simbol Tarian Topeng Tumenggung Cirebon, akan tetapi pembahasannya kurang non fiksi.

2.3. Pesan dan Semiotika
2.3.1. Pengertian Pesan
Pesan merupakan bagian dari komunikasi. Jika komunikasi merupakan proses penyampaian informasi, baik verbal maupun nonverbal yang dilakukan oleh komunikator terhadap komunikannya dan dimaknai secara bersama (melalui pengertian antara keduanya), maka pesan adalah kata-kata atau seperangkat simbol yang disampaikan untuk tujuan tertentu. “Pesan adalah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain.” (Kamus Besar Bahasa Indonesia,  1989:677).
Menjelaskan tentang pesan, kita tidak dapat lepas dari komunikasi. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam penjelasan di atas, pesan merupakan bagian dari komunikasi, yang berupa kata-kata, nasihat dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum komunikasi terjadi dan didalamnya terdapat pesan verbal atau nonverbal yang ingin disampaikan kepada pihak lain, maka pernyataan lain perlulah disampaikan, karena terdapat unsur-unsur interaksi sesama manusia: Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
who says what in which channel to whom with what effect atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?.
Berdasarkan definisi Lasswell ini dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu:
pertama, sumber (source), sering disebut juga pengirim (sender), penyandi (encoder),komunikator (communicator), pembicara (speaker) atau originator
Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu negara. Kebutuhannya bervariasi, mulai dari sekadar mengucapkan “selamat pagi” untuk memelihara hubungan yang sudah dibangun, menyampaikan informasi, menghibur, hingga kebutuhan untuk mengubah ideologi, keyakinan agama dan perilaku pihak lain.
Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atau pikiran, sumber harus mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan. Proses inilah yang disebut penyandian (encoding).
Pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir, dan perasaan sumber mempengaruhinya dalam merumuskan pesan tersebut. Setiap orang dapat saja merasa bahwa ia mencintai seseorang, namun komunikasi tidak terjadi hingga orang yang Anda cintai itu menafsirkan rasa cinta  berdasarkan perilaku verbal dan/atau nonverbal.
Kedua, pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima.
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen: makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan arti, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah, dan sebagainya) ataupun tulisan (surat, esai, artikel, novel, puisi, pamplet, dan sebagainya). Kata-kata memungkinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dapat dirumuskan secara nonverbal, seperti melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh (acungan jempol, anggukan kepala, senyuman, tatapan mata, dan sebagainya), juga melalui musik, lukisan, patung, tarian, dan sebagainya.
Ketiga, saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima...
Keempat , penerima (receiver), sering juga disebut sasaran tujuan (destination), komunikate (communicate), penyandi balik (decoder) atau khalayak (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir dan perasaan, penerima pesan ini menerjemahkan atau menafsirkan seperangkat symbol verbal dan nonverbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat dipahami. Proses ini disebut penyandian balik ( decoding).

Kelima , efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut, misalnya penambahan pengetahuan (dari tidak tahu menjadi paham), terhibur, perubahan sikap (dari tidak setuju menjadi setuju), perubahan keyakinan, dan sebagainya. (Lasswell, dalam Mulyana, 2002:62-65).
Jika Laswell menjelaskan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, di antaranya, sumber, pesan, saluran atau media, penerima, dan efek, maka pernyataan lain mengemukakan suatu pesan yang efektif agar dapat ditanggapi oleh komunikannya atau dengan istilah the condition of success in communication , yang mengatakan bahwa:
Pertama, pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
Kedua,pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti.
Ketiga, pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
Keempat, pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok, tentunya komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. (Scrhamm, dalam Effendy, 2003:41-42).
2.3.2. Pesan Sebagai Bentuk Semiotika
Semiotika dalam pembahasan ini digunakan sebagai alat bedah untuk memudahkan peneliti mengupas teori-teori yang diperlukan. “Tanda-tanda ( signs) adalah basis dari seluruh komunikasi”. (Littlejohn, 1996:64). “Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda”. (Sobur, 2003:15). Sementara itu, menurut pendapat lainnya, semiotika adalah:
Kata semiotika berasal dari kata Yunani
Semeion , yang berarti tanda. Maka, semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Ahli Stoa (Zeno) dan ahli-ahli skolastik abad pertengahan (Augustinus, William van Ockham, Duns Scotus) telah menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan penggunaan tanda. (Zoest, 1993:1).
Semiotika berurusan dengan tanda seperti dikatakan bahwa semiotika adalah “teori tentang tanda dan penandaan”. (Lechte, 2001:191). Lebih jelasnya lagi, “semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system (code) ‘sistem tanda’.” (Segers, 2004:4). Tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan isi (content plan)”. (Hjelmslev, dalam Christomy, 2001:7). Pendapat lain menyebutnya sebagai “disicipline is simply the analysis of signs or the study of the functioning of sign systems” (ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi).”
(Cobley dan Jansz, 1999:4). Tanda selalu mempunyai tiga wajah, yaitu, “tanda itu sendiri, aspek material (entah berupa suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material ( signifier), dan aspek mental atau konseptual yang ditunjuk oleh aspek material (signified)”.
(Saussure, dalam Sunardi, 2004:41). Tanda yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan nonverbal
”. (Petada, 2001:48). Tanda bersifat verbal adalah yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan nonverbal dapat berupa, tanda yang menggunakan anggota badan atau bukan kata-kata. Selanjutnya, dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang terutama penting diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal. Bidang nonverbal adalah suatu wilayah yang menekankan pentingnya fenomena yang bersifat empiris, faktual, atau konkret, tanpa ujaran-ujaran bahasa. Ini berarti, bidang nonverbal berkaitan dengan benda konkret, nyata dan dapat dibuktikan melalui indera manusia. (Budianto, 2001:15). Dalam kategori semiotika, budaya sering diartikan sebagai komunikasi atau signifikasi. Budaya pada intinya adalah system of signification . Jika tujuan kajian semiotika adalah mencari berfungsinya sistem tersebut, hal itu dilakukan karena dinamika budaya dapat diamati. Dalam sistem tersebut, kita melihat kemungkinan anggota-anggota masyarakat untuk memilih, menggabungkan, dan mengungkapkan tanda-tanda yang sudah tersedia. Dalam dinamika budaya terjadi tarik-menarik atau hubungan dialektis antara sistem tanda-tanda yang ada (bahasa) dan kebebasan orang untuk memakainya sesuai dengan kebutuhan pribadi atau kelompok (wicara atau wacana).
2.4. Komunikasi Verbal
“Pesan verbal adalah semua jenis lambang yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rancangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan”. (Mulyana, 2002:237).
Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa bahasa verbal adalah: Sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. (Mulyana, 2002:238).
Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena sepanjang hidup menggunakannya. Kita baru menyadari bahasa itu penting ketika menemukan jalan buntu dalam menggunakannya. Misalnya, ketika berupaya berkomunikasi dengan orang yang sama sekali tidak memahami bahasa kita yang membuat frustasi, ketika sulit menerjemahkan suatu kata, frase atau kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Ketika kita harus menulis lamaran pekerjaan atau diwawancarai dalam bahasa Inggris untuk memperoleh pekerjaan yang baik.
Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk memberikan nama atau menjuluki orang, objek dan peristiwa. Setiap orang mempunyai nama untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat memberikan nama apa saja, objek-objek yang  berlainan, termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama dan basis bahasa, dan pada awalnya itu dilakukan manusia sesuka mereka, yang selalu menjadi konvensi. Menurut ahli komunikasi lainnya, bahasa memiliki tiga fungsi:
Penamaan (naming atau labeling ), interaksi dan transmisi informasi.
Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha untuk mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat megundang simpati dan pengertian atau kemarahan.
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Anda juga menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain, baik secara langsung maupun tidak (melalui media massa misalnya).
 Fungsi bahasa inilah yang disebut transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa, tidak mungkin bertukar informasi dan menghadirkan semua objek untuk kita rujuk dalam komunikasi. (Barker, dalam Mulyana, 2002:243).
Agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memiliki tiga fungsi, yaitu:
Untuk mengenal dunia di sekitar kita, berhubungan dengan orang lain, dan untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan. Fungsi pertama, yakni mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa saja yang menarik minat, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu dan tidak pernah diketahui, seperti bangsa Mesir Kuno atau Yunani. Kita dapat berbagi pengalaman, bukan hanya peristiwa masa lalu yang kita alami sendiri, tetapi juga pengetahuan tentang masa lalu yang diperoleh melalui sumber kedua, seperti media cetak atau elektronik. Kita juga menggunakan bahasa untuk memperoleh dukungan atau persetujuan dari orang lain atas pengalaman atau pendapat. Melalui bahasa pula anda memperkirakan apa yang akan dikatakan atau dilakukan seorang kawan, seperti dalam kalimat “kemarin kawan saya itu begitu marah kepada saya.
Sepertinya ia tidak ingin lagi berhubungan dengan saya”. Meskipun gambaran kita mengenai masa depan tidak selalu akurat, setidaknya bahasa memungkinkan kita memikirkan, membicarakan, dan mengantisipasi masa depan, misalnya apa yang akan terjadi terhadap manusia dan alam semesta berdasarkan dugaan yang dikemukakan para ahli ilmu pengetahuan serta orang bijak lainnya, juga atas wahyu Tuhan atau sabda nabi.
Fungsi kedua bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan, termasuk orang-orang di lingkungan sekitar. Seorang kandidat dari sebuah partai politik dapat menyampaikan gagasannya, namun sekaligus juga membujuk rakyat untuk memilih partainya dan mempertimbangkan dirinya sebagai calon presiden yang potensial. Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain bergantung tidak hanya pada bahasa yang sama, namun juga pengalaman dan makna yang sama kita berikan kepada kata-kata. Semakin jauh perbedaan antara bahasa yang kita gunakan dengan mitra komunikasi kita, semakin sulit untuk mencapai saling pengertian. Meskipun orang Indonesia dan Malaysia berbicara bahasa Melayu, atau orang Amerika dan Inggris berbicara bahasa Inggris, mereka belum tentu mencapai kesepahaman, karena beberapa perbedaan yang ada dalam kedua bahasa tersebut.
Sedangkan fungsi ketiga memungkinkan kita untuk hidup lebih teratur, saling memahami mengenai diri, kepercayaan-kepercayaan, dan tujuan- tujuan. Kita tidak mungkin menjelaskan semua itu dengan menyusun kata- kata secara acak, melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah disepakati bersama. Akan tetapi, kita sebenarnya tidak selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, karena meskipun bahasa merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain, sarana ini secara inheren mengandung kendala dan keterbatasannya. (Book, dalam Mulyana, 2002:243).
Dalam bahasa atau komunikasi verbal, tentunya apa yang seseorang katakan harus dipahami maknanya terlebih dahulu, sehingga ia mengetahui maksud yang akan disampaikannya,  kemudian mengirimkannya kepada orang yang ditujukan.
Transfer atau kiriman informasi itu pun harus tepat kepada orang yang dituju. Dengan kata lain, pihak komunikan yang dituju memiliki kesamaan makna dalam menafsirkan pesan yang disampaikan oleh komunikator, sehingga tidak terjadi miscommunication dalam komunikasi verbal. Jangan sampai pesan yang kita sampaikan tidak dimengerti oleh orang lain karena perbedaan budaya, misalnya. Kesamaan makna pesan, dapat diartikan sebagai suatu interaksi antara komunikator dan komunikan yang memiliki bidang pengalaman yang sama, seperti, berlatar belakang budaya dan bahasa yang sama. Artinya, perbedaan budaya atau bahasa antara komunikator dengan komunikan dapat mengaburkan arti pesan yang dimaksud. Atas pernyataan itu, kita simak dalam penjelasan di bawah ini:
Pertama-tama yang akan dilakukan manakala diberi kesempatan mengurus negara adalah membina bahasa. Sebab, apabila bahasa tidak tepat, apa yang dikatakan bukan yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, maka yang mestinya dikerjakan, tidak dilakukan. Jikalau yang harus dilakukan terus menerus tidak dilaksanakan, seni dan moral menjadi mundur. Bila seni dan moral mundur, keadilan menjadi kabur ... akibatnya rakyat menjadi bingung, kehilangan pegangan. (Kong Hu Chu, dalam Effendy, 2002:33-34).
Pernyataan Kong Hu Chu di atas, menyarankan agar bahasa sudah selayaknya diperhatikan secara sungguh-sungguh. Jangan asal sembarangan berbicara atau berbahasa, karena dampaknya akan buruk bagi yang melakukannya, dalam hal ini pihak komunikator. Sebab, pihak komunikator merupakan individu ataupun kelompok yang memulai pembicaraan atau membuka jalur komunikasi terbuka dengan komunikan. Jika individu ataupun kelompok sebagai komunikator tidak dapat menyampaikan pesan secara baik dan dimengerti kepada komunikannya, maka dikhawatirkan ditafsirkan berbeda dan berbuntut masalah baru, bahkan memungkinkan pertengkaran atau peperangan, seperti pada contoh kasus yang dijelaskan berikut ini:
Masalah bagaimana seharusnya ketepatan bahasa untuk mengungkapkan suatu maksud tertentu, dijumpai ketika berkecamuknya Perang Dunia II yang lalu. Ketika Jepang diminta oleh sekutu (Amerika Serikat) agar menyerah menjawab dengan menggunakan perkataan “mokusatsu”. Maksudnya adalah “tidak memberikan komentar sampai keputusan
diambil ( with holding comment until a decision has been made), tetapi kata “mokusatsu” oleh Kantor Berita Domei diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “ignore” yang berarti “tidak perduli”. Miskomunikasi inilah antara lain yang menyebabkan Hirosima di bom atom dalam perang dunia tersebut. (Effendy, 2003:34)
2.5. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah “lambang yang bukan bahasa, misalnya isyarat dengan anggota tubuh, antara lain kepala, bibir, tangan dan jari”. (Effendy, 2003:35).
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya, namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Pentingnya pesan nonverbal ini misalnya dilukiskan dengan frase, “Bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku nonverbalnya, yang mendorong kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong untuk mengenal lebih jauh.
Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa di mana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi oleh konteks dan budaya. Kita belajar menatap, memberi isyarat, memakai parfum, menyentuh berbagai bagian tubuh orang lain, dan bahkan kapan kita diam. Cara kita bergerak dalam ruang ketika berkomunikasi dengan orang lain didasarkan terutama pada respon fisik dan emosional terhadap rangsangan lingkungan.
Sementara kebanyakan perilaku verbal kita bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal kita bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran kendali kita.
Pendapat lain mengatakan:
Bahasa nonverbal adalah “bahasa diam” ( silent language ) dan dimensi tersembunyi ( hidden dimension ) suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi. Bersama isyarat verbal dan isyarat kontekstual, pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman komunikasi. (Hall, dalam Mulyana, 2002:309).
Sebagaimana budaya, subkultur pun sering memiliki bahasa nonverbal yang khas. Dalam suatu budaya boleh jadi terdapat variasi bahasa nonverbal, misalnya bahasa tubuh, bergantung pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, pendidikan, kelas sosial, tingkat ekonomi, lokasi geografis, dan sebagainya.
Komunkasi nonverbal pun dijelaskan lebih lanjut, bahwa:
Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal. (Knapp, dalam Mulyana, 2002:312).
Adapun fungsi komunikasi nonverbal, seperti yang dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan penolakan, kemudian menggelengkan kepala berkali-kali.
Kedua, substitusi, menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa sepatah kata pun Anda berkata. Anda dapat menunjukkan persetujuan dengan mengganguk-angguk.
Ketiga, kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya, Anda memuji prestasi kawan dengan mencibirkan bibir, “Hebat, kau memang hebat,”.
Keempat komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka Anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
Kelima, aksentuasi, yakni menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya, Anda mengungkpkan betapa jengkelnya dengan memukul mimbar. (Knapp, dalam Rakhmat,
2003:287).
Sementara itu kaitannya dengan komunikasi nonverbal, topeng Panji Cirebon mengkomunikasikan kepada manusia melalui pesan nonverbalnya. Dengan melihat jenis dan warna topeng Panji, telah mengindikasikan bahwa di dalamnya terdapat pesan nonverbal yang dapat ditafsirkan. Topeng Panji yang berwarna putih polos dan gerakan tariannya yang halus, mengisyaratkan kepada manusia, bahwa sesungguhnya perilaku yang dilakukan harus selalu membawa kebaikan bagi semua orang dengan cara penuh kelembutan dan kasih sayang. Hal tersebut dikemukakan oleh salah satu ahli topeng Cirebon seperti di bawah ini:
Karakter dari topeng Panji adalah halus, kedok nya berwarna putih tanpa hiasan, mata sipit, hidung condong ke bawah, mulut tersenyum. Jenis gerakannya pelan, halus, ruang gerak kecil-kecil, napas tertahan. Perkembangan jiwa gambaran bayi yang baru lahir, manusia suci. Akhlak manusia baik, berbudi, halus perasannya, kuat menahan hawa nafsu. (Masunah, et al., 1999:17).
2.6. Topeng Cirebon Dalam Kehidupan Masyarakatnya
Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai topeng Cirebon dalam kehidupan masyarakatnya, terlebih dahulu akan dikemukakan perihal topeng secara umum. Topeng sangat beragam jenisnya, mulai dari topeng monyet, topeng dari Bali, topeng panji Cirebon, dan sebagainya. Topeng merupakan perwujudan dari kreatiftas manusia yang dibuat untuk tujuan tertentu. Misalnya, topeng dibuat dalam rangka upacara ritual, sarana hiburan, hingga penyebaran suatu paham yang ditujukan kepada masyarakat tertentu. Hal tersebut, dikemukakan oleh ahli topeng sebagai berikut:
Peradaban dunia telah menunjukkan bahwa topeng memiliki perwujudan imajinasi, kreativitas, dan daya ekspresi spiritual manusia yang tak terhingga. Ada topeng yang “polos” seperti topeng Panji dari Cirebon, ada yang memuat berbagai simbol seperti dari Srilangka, ada yang dekoratif seperti dari Kalimantan, dan ada yang “ekspresif” seperti topeng Celuluk dari Bali. (Endo, 2004:1).
Pernyataan di atas, mengenai makna topeng, dapat ditafsirkan berbeda, karena latar belakang budaya dan bahasa. Orang Indonesia pada umumnya, mengartikan kata topeng sebagai penutup muka yang terbuat dari berbagai bahan, misalnya kayu, kertas, fiber, dan sebagainya. Namun, kenyataannya di dalam kehidupan masyarakat Cirebon, kata “topeng” itu berarti penari atau pertunjukan topeng. Penutup muka yang dimaksud oleh kebanyakan orang Indonesia pada umumnya, di Cirebon disebutnya sebagai kedok. Itulah perbedaan bahasa dan latar belakang budaya yang perlu dicermati, apalagi menyangkut kehidupan masyarakat yang beraneka ragam.
Adapun gambaran umum tentang makna topeng adalah:
Suatu pertunjukan, yang menampilkan laki-laki dan sesekali perempuan dengan mengenakan topeng (masker) di mukanya dan sering juga berpakaian tertentu (penutup kepala khusus, perhiasan dan sebagainya), seraya memerankan orang-orang tertentu, kadang-kadang juga binatang. Dari bagian dalam topeng itu terdapat sebuah tangkai dari kayu yang melengkung sebagai alat untuk digigit oleh pemakainya, agar melekat kuat pada mukanya. Keterangan Hazeu selanjutnya, bahwa topeng membawakan lakon dari cerita Panji. Panji adalah peran utama yang tampilnya mengenakan kopiah dari rambut (tekes), yang dipergunakan pada pertunjukan-pertunjukan topeng. (Hazeu, dalam Suryaatmadja, 1985:9).
Sementara gambaran lainnya tentang topeng yang terdapat di Jawa Barat, ialah:
Berupa  penampilan yang berselingan antara tari, nyanyi, percakapan dan perkelahian (perang) yang mengarah kepada jalannya cerita sejarah, sedangkan dalang menuturkan cuplikan atau menyanyikan mengenai sejarah yang ditampilkan. Keterangan di atas menunjukkan bahwa topeng di Jawa Barat pada saat itu membawakan lakon. (Seriere, dalam Suryaatmadja, 1985:10).
Topeng, di  Cirebon tersebar di berbagai daerah, seperti Losari, Kalianyar, Palimanan, Gegesik dan Slangit. Dari berbagai daerah topeng itu berada, masing- masing mempunyai ciri khas dengan gaya yang berbeda pula. Namun, ada beberapa kesamaannya di antaranya adalah tata cara penyajiannya. Dalam penyajiannya topeng Cirebon mempunyai beberapa fungsi, yaitu dipersembahkan dalam rangka hajatan dan upacara-upacara yang bersifat ritual. Fungsi topeng seperti tersebut, mengacu pada fungsi tari sebagai seni pertunjukan secara umum, baik itu primernya maupun sekunder. Dalam hal ini, dikemukakan bahwa seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu sebagai “(1) sarana ritual, (2) hiburan pribadi dan (3) presentasi estetis”. (Soedarsosno, 1999:57).





BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan kualitatif dan perbedaannya dengan kuantitatif. Selain itu, akan dijelaskan pula mengenai pengertian etnografi. Etnografi dalam bab ini digunakan sebagai metode penelitian.
3.1. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah: Penelitian yang bersifat empiris (dapat diamati dengan pancaindera sesuai dengan kenyataan), hanya saja pengamatan atas data bukanlah berdasarkan ukuran-ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti dan harus dapat disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain, melainkan berdasarkan ungkapan subjek penelitian, sebagaimana yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek penelitian. Pendekatan kualitatif menggunakan konsep kealamiahan (kecermatan, kelengkapan, atau orisinalitas) data dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Pendekatan kualitatif terutama layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan yang agak artifisial, seperti dalam survei atau eksperimen. Peneliti kualitatif lebih menekankan proses dan makna ketimbang kuantitas, frekuensi atau intensitas (yang secara matematis dapat diukur), meskipun peneliti tidak mengharamkan statistik deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi atau presentase untuk melengkapi analisis datanya. (Mulyana, 2007:11).
Metodologi penelitian kualitatif “sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.” (Bogdan dan Taylor, 1975:5). Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik atau utuh. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut melalui bahasa serta peristilahannya”. (Kirk dan Miller, 1986:9). Sementara itu, “analisis kualitatif menuntut “kemutlakan”. Dalam penelitian kualitatif seorang peneliti harus mampu mengeksplanasi semua bagian yang bisa dipercaya dari informasi yang diketahuinya serta tidak akan menimbulkan kontradiksi dengan interpretasi yang disajikannya”. (Soedarsono, 1997:27).
3.2. Perbedaan Penelitian Kualitatif dengan Kuantitatif
Perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitan kuantitatif telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Untuk penelitian kuantitatif digunakan istilah scientific paradigm (paradigma ilmiah, penulis), sedangkan penelitian kualitatif dinamakan naturalistic inquiry atau inkuiri alamiah”. (Guba dan Lincoln, dalam Moleong, 1991:15).
Perbedaan antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif juga dipaparkan sebagai berikut:
Tahap ketika metode kuantitatif sangat dominan, yaitu sebelum tahun 1940-an hingga akhir tahun 1970-an. Pada saat itu, penelitian pendidikan dan ilmu sosial umumnya didominasi oleh metode kuantitatif. “everything should and can be quantified” menjadi pegangan para peneliti. Mereka yakin bahwa apapun dapat didefinisikan akan dapat dihitung, dan bahwa penelitian yang sahih secara ilmiah adalah yang memiliki tingkat generalitas yang tinggi. (Supriadi, dalam Alwasilah, 2002:18-19).
Pernyataan di atas, bahwa penelitian kuantitatif menjelaskan segala sesuatunya akan dapat dihitung dengan angka-angka. Berbeda dengan penelitian kualitatif,  sulit digunakan, jika seorang peneliti ingin mengetahui berapa persen penduduk kota Bandung yang gemar terhadap tari Sunda, misalnya. “Dalam penelitian kuantitatif, data yang dipergunakan sebagai bahan penelitian sangat banyak dan analisisnya berdasarkan angka-angka serta atas hubungan-hubungan sistematik dan statistik di antara angka-angka tersebut”. (Soedarsono, 1997:27).
Penelitian kualitatif dengan kuantitatif, yakni “pada dasarnya, baik teknik kuantitatif maupun teknik kualitatif dapat digunakan bersama-sama. Namun, penekanannya diletakkan pada teknik tertentu. Paradigma ilmiah memberi tekanan pada teknik kuantitatif, sedangkan paradigma alamiah memberi tekanan pada penggunaan teknik kualitatif”. (Moleong, 1991:16).
Selain itu, dikatakan perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif ialah: Paradigma ilmiah berpendirian reduksionis . Dalam hal ini mereka menyempitkan penelitian pada fokus yang relatif kecil dengan jalan membebankan kendala-kendala, baik pada kondisi anteseden pada inkuiri (untuk keperluan mengontrol) maupun pada keluaran-keluaran. Jadi, pencari-tahu-ilmiah mulai dengan menyusun pertanyaan atau hipotesis, kemudian hanya mencari informasi yang akan memberikan jawaban pada pertanyaan atau menguji hipotesis-hipotesis itu. Pencari-tahu-alamiah mempunyai pendirian ekspansionis . Mereka mencari perspektif yang akan mengarahkan pada deskripsi dan pengertian fenomena sebagai keseluruhan atau akhirnya dengan jalan menemukan sesuatu yang mencerminkan kerumitan gejala-gejala itu. Mereka memasuki lapangan, membangun dan melihat pembawaannya yang tampak dari arah mana pun titik masuknya. Setiap langkah inkuiri didasarkan atas sejumlah pengetahuan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit berdasarkan langkah-langkah sebelumnya. Jadi, pencari-tahu- alamiah mengambil sikap tersruktur, terarah, dan tunggal, sedangkan pencari-tahu-alamiah berpendirian terbuka, menjajagi, dan kompleks. (Moleong, 1991:18).
3.3. Metode Etnografi
Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian pada masyarakat tertentu. Berikut ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai etnografi:
Tujuan utama aktifitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar, melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi, etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu. Etnografi belajar dari masyarakat. (Spradley, 2007: 4).
Dari pernyataan Spradley di atas, etnografi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat. Dalam kaitan dengan penelitian ini, peneliti terjun langsung untuk berhubungan dengan masyarakat yang ditelitinya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, seorang peneliti menjadi bagian dari masyarakat penduduk asli. Artinya, peneliti bisa saja menginap di salah satu rumah penduduk asli untuk memahami sudut pandang masyarakat tersebut. Peneliti etnografi harus memiliki hubungan manusiawi yang kuat, karena ia akan berhadapan dengan kebudayaan yang tidak dikenal sebelumnya. Dengan kata lain, peneliti etnografi belajar dari kehidupan masyarakat penduduk asli yang mempunyai kebudayaannya sendiri. Peran aktif, itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang peneliti etnografi. Selain itu, membina hubungan emosional yang baik dengan masyarakat penduduk asli, merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam penelitian ini. Semakin dekat hubungan peneliti dengan masyarakat aslinya, maka akan semakin mempermudah dan memperlancar tujuan memahami sudut pandang budaya mereka.
Adaptasi, itulah yang perlu diperhatikan oleh peneliti etnografi atau etnografer . Jangan sampai, peneliti etnografi tidak mau mengikuti kebiasaan atau tradisi masyarakat penduduk asli. Jadi, etnografer di sini lebih mengikuti arus yang mereka jalani (masyarakat penduduk asli) atau mengikuti kebiasaan- kebiasaan mereka. Lebih lanjut dikemukakan bahwa: Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami.
Beberapa makna tersebut terekspr esikan secara langsung dalam bahasa; dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan. Sekalipun demikian, di dalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lan, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka: dan etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan. (Spradley, 2007:5).
Sementara itu, langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian etnografi meliputi hal-hal sebagai berikut:
Langkah I, yakni menetapkan informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi beberapa karakteristik dan informan yang baik.
2. Untuk menemukan informan yang sebaik mungkin dalam mempelajari keterampilan wawancara dan melakukan penelitian etnografi.
Langkah II, yakni mewawancarai informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur dasar dalam wawancara etnografis.
2. Untuk memformulasikan dan menggunakan beberapa macam penjelasan etnografis.
3. Untuk melakukan wawancara praktis.
Langkah III, yakni membuat catatan etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar catatan etnografis.
2. Untuk menyusun buku catatan penelitian lapangan.
3. Untuk melakukan kontak dengan seorang informan dan melakukan wawancara pertama.
Langkah IV, yakni mengajukan pertanyaan deskriptif, tujuannya:
1. Untuk melaksanakan etnografis pertama.
2. Untuk memahami proses perkembangan hubungan dengan informan.
3. Untuk mengumpulkan sampel dari percakapan informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif.
Langkah V, yakni melakukan analisis wawancara etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar analisis etnografis.
2. Untuk mempelajari bagaimana tercita dengan simbol-simbol budaya.
3. Untuk memulai suatu analisis domain dengan melakukan pencarian suatu domain pendahuluan.
Langkah VI, yakni membuat analisis domain, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar hubungan semantik serta peran hubungan itu dalam pembuatan suatu analisis domain.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam menjalankan analisis domain.
3. Untuk melakukan analisis domain sistematis terhadap semua data yang terkumpul sekarang.
4. Untuk memasukkan satu atau dua pertanyaan struktural ke dalam wawancara etnografis.
Langkah VII, yakni mengajukan pertanyaan struktural, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi berbagai jenis pertanyaan struktural.
2. Untuk mempelajari menggunakan pertanyaan struktural dalam etnografi.
3. Untuk menguji domain-domain yang telah dihipotesiskan dan menemukan istilah-istilah tercakup yang lain untuk domain-domain itu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan struktural.
Langkah VIII, yakni membuat analisis taksonomik, tujuannya:
1. Untuk memilih suatu fokus yang bersifat sementara untuk membuat analisis mendalam.
2. Untuk memahami berbagai taksonomi rakyat dan bagaimana taksonomi itu mengorganisir domain.
3. Untuk mempelajari bagaimana membuat analisis taksonomik.
4. Untuk membangun suatu taksonomi rakyat untuk satu domain atau lebih dengan mengikuti langkah-langkah dalam mengerjakan analisis taksonomik.
Langkah IX, yakni mengajukan pertanyaan kontras, tujuannya:
1. Untuk memahami prinsip-prinsip penemuan utama dalam studi makna budaya.
2. Untuk mempelajari cara-cara untuk menemukan berbagai kontras atau perbedaan diantara berbagai simbol budaya.
3. Untuk memformulasikan dan menggunakan berbagai pertanyaan kontras.
Langkah X, yakni membuat analisis komponen, tujuannya:
1. Untuk memahami peran analisis komponen dalam studi sistem makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam membuat analisis komponen.
3. Untuk melakukan analisis komponen yang sistematik pada satu rangkaian kontras atau lebih.
4. Untuk menggunakan pertanyaan kontras untuk membuktikan dan melengkapi analisis komponen.
Langkah XI, yakni menemukan tema-tema budaya, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar tema-tema dalam sistem makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi beberapa strategi membuat suatu analisis tema.
3. Untuk melaksanakan suatu analisis tema pada suasana budaya yang sedang dipelajari.

Langkah XII, yakni menulis suatu etnografi, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar penulisan etnografis sebagai bagian dari proses penerjemahan.
2. Untuk mengidentifikasi tahap-tahap yang berbeda dalam penulisan etnografi.
3. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam melaksanakan suatu etnografi.
4. Untuk menulis suatu etnografi. (Spradley, 2007:65-70)

Tidak ada komentar: